REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1920, ketika Mandatory Palestine berlaku, kantor pemerintahan Inggris di Palestina mencatat bahwa jumlah imigrasi kaum Yahudi di Palestina meningkat. Para pendatang Yahudi tersebut banyak yang memilih untuk tinggal di kota dan memulai bisnis. Mulanya, orang-orang Yahudi di Palestina hanya berjumlah 17 persen. Akan tetapi, setelah Hitler berkuasa, orang-orang Yahudi berbondong-bondong bermigrasi ke Palestina.
Banyaknya pendatang Yahudi di Palestina mulai menimbulkan gesekan antara bangsa Arab dan Yahudi di sana. Konflik yang terjadi ialah seputar perebutan hak-hak tempat suci mereka di Yerusalem. Pergesekan ini juga diwarnai oleh kekhawatiran bangsa atas pembelian tanah dan banyaknya imigrasi orang Yahudi yang membuat bangsa Arab di Palestina terdesak.
Selain konflik perebutan tanah suci, politik di Timur Tengah kala itu juga mulai mengalami perubahan. Melihat Mesir dan Suriah merdeka, timbul pula keinginan untuk memerdekakan diri yang berujung pada wacana pelepasan Palestina dari Inggris.
Pada 1938, konflik Arab-Yahudi memuncak ketika Inggris mengeluarkan mandat untuk membagi Palestina menjadi dua bagian, yaitu untuk Arab dan Yahudi. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian mandat tersebut dicabut dan diganti dengan white paper yang berisi desakkan agar tercipta satu pemerintahan gabungan Arab dan Yahudi. White Paper ini mendapat tentangan keras dari kaum Yahudi.
Saat itu, Yahudi yang memegang peranan penting dalam perekonomian Amerika Serikat (AS), mendapat bantuan dari AS. Akibatnya, AS berpihak pada Yahudi dan hal ini cukup membuat Inggris Terganggu. Akhirnya, Inggris menyerahkan persoalan Palestina ini kepada PBB.
.
PBB kemudian kembali menyarankan pembagian wilayah Palestina menjadi dua pada 1 September 1947. Baik bangsa Arab maupun Yahudi di Palestina saling berebut pengaruh dan menolak aturan tersebut. Perang-perang gerilya pun dimulai. Akan tetapi, tak sedikit dari para ningrat Arab yang justru malah melarikan diri ke negara lain.