REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak pihak kecewa dengan pemilihan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Selain dianggap telah melanggar UU Kejaksaan, Presiden Joko Widodo pun dinilai telah melupakan visi dan misinya saat kampanye. Sebelumnya Jokowi berjanji akan menghindari kepentingan politik dan bisnis dalam urusan kepemerintahan.
"Kami sendiri mempertanyakan mekanisme yang digunakan oleh Presiden Jokowi dalam memilih HM Prasetyo. Memilih Jaksa Agung seharusnya lebih ketat daripada seorang menteri," kata koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, Jumat (21/11).
Emerson melanjutkan namun apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur, Jokowi telah melantik Prasetyo sebagai Jaksa Agung.
Meski demikian, ICW beserta LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan seperti Indonesia Legal Roundtable (ILR), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Masyarakat Pemantau Peradilan (MaPPI FH UI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengajukan beberapa usulan.
Pertama pembenahan internal kejaksaan, dimana harus ada revisi peaturan Jaksa Agung (Perja) tentang Pembinaan Karier Kejaksaan guna memperkecil subjektifitas dalam mutasi-promosi.
"Mendisiplinkan pegawai terkait dengan banyaknya Jaksa yang melanggar etik bahkan terlibat kasus korupsi," katanya.
Kemudian memperbaiki sistem teknologi informasi kejaksaan. Melakukan peningkatan kapasitas para jaksa secara berkala, seperti evaluasi kerja dan perbaikan sistem di internal kejaksaan. ICW juga menilai sehingga tidak ada alasan untuk mempertahankan jaksa-jaksa yang tidak memiliki kompetensi yang memadai.
"Kedua melanjutkan penuntasan kasus serta penegakan hukum untuk pidana dan HAM. Dengan begitu diharapkan Jaksa Agung dapat menjalankan fungsinya lebih baik," jelasnya.