REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Prancis berencana untuk menerapkan ijazah bagi pengkhotbah dan imam umat Islam. Langkah ini ditempuh sebagai bagian dari langkah kontra-ekstremisme. Namun, rencana Prancis ini telah memicu kritik dari para ahli hukum karena dinilai sebagai upaya untuk ikut campur dalam urusan agama.
"Ini akan menjadi intervensi negara yang mencapai ke jantung komunitas Muslim dan mempengaruhi organisasi internal," ujar profesor hukum dan agama di Universitas Leuven di Belgia, Marco Ventura seperti dilansir IslamOnline (22/11).
Pelatihan formal dan universal yang anti radikalisme harus diambil oleh pengkhotbah Muslim asing. Langkah-langkah yang diusulkan menyarankan untuk menambahkan lebih banyak program dengan kurikulum ijazah teologi Islam.
Lebih dari 2/3 dari imam dan pemimpin Muslim, yang tidak memegang kewarganegaraan Perancis, akan terpengaruh oleh langkah-langkah yang diusulkan.
Kursus yang disarankan termasuk studi sekuler sipil, humaniora, ilmu pengetahuan dan agama-agama lain.
"Ajaran ini dimaksudkan untuk menghindari terciptanya kontra-masyarakat memberitakan supremasi hukum ilahi atas hukum manusia dan mendorong pendidikan yang toleran, pendeta tercerahkan terhadap agama-agama lain atau bentuk lain dari pemikiran , " ujar ahli studi Islam dan direktur penelitian di National Centre Perancis, Prof Francis Messner.
Hanya 45% dari imam masjid di Perancis yang dibayar oleh negara. Sebagian besar dari mereka mendapatkan gaji dari Turki, Aljazair dan Maroko.