REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
Sebuah kabar gembira bagi para pekerja swasta. Pemerintah mengeluarkan terobosan baru terkait program Jaminan Pensiun (JP) untuk pekerja swasta. Kebijakan itu akan mulai diterapkan pada 1 Juli 2015. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan akan menjadi tulang punggung dalam mengelola dana pensiun.
Dengan kebijakan itu, pegawai swasta bisa memperoleh fasilitas uang pensiun setelah usia 55 tahun. Program ini tidak hanya berlaku untuk pekerja kantoran, tetapi mereka yang bekerja secara informal dan profesi lain juga dapat mengikuti program JP. Konsekuensi pelaksanaan jaminan pensiun juga menimbulkan tuntutan diperlukannya penyesuaian terhadap pelaksanaan jaminan hari tua (JHT).
Salah seorang staf universitas swasta, Diah Ayu, menyambut baik rencana itu. Bahkan, dia setuju kalau gajinya dipotong sebagai kompensasi untuk dialihkan menjadi dana pensiun. Namun, ia menyarankan agar pemotongan tidak terlalu banyak dan lebih besar ditanggung perusahaan jika modelnya seperti iuran PT Jamsostek.
Dia mendukung kebijakan itu lantaran, misalnya, masa kerjanya tidak sampai memasuki masa pensiun, potongan gaji tersebut bisa diambil saat mengajukan resign atau diberhentikan perusahaan. “Saya setuju asalkan kalau kerja tak sampai pensiun, potongan gaji bisa diambil. Jadi fungsinya cuma seperti tabungan,” kata Diah kepada Republika, Rabu (26/11).
Selama ini, pekerja swasta juga menerima tunjangan jaminan hari tua (JHT) atau kadang disebut pesangon perusahaan. Bedanya, tunjangan JHT diberikan secara lump sum atau gelondongan ketika pekerja melewati usia produktif sesuai aturan berlaku.
Tentu saja ada pekerja yang senang dengan metode seperti itu, misalnya akan digunakan sebagai modal usaha. Namun, tidak sedikit pekerja yang khawatir tidak bisa mengelola dana JHT itu.
Kekhawatiran itu disebabkan tunjangan JHT akan habis dalam waktu singkat, sementara mereka yang sudah pensiun tidak memiliki pendapatan lain. Dikhawatirkan, ketidakmampuan mengatur keuangan bisa menyebabkan tingkat kesejahteraan para pensiunan swasta menurun.
Diah melanjutkan, program JP juga mesti mengatur pekerja swasta yang bekerja tidak sampai memasuki usia pensiun. Pasalnya, jangan sampai pekerja sudah dipotong gajinya, tapi fasilitas itu tidak bisa dinikmati ketika belum berusia di atas 55 tahun.
Hal itu jelas akan merugikan pekerja swasta yang mendapat bayaran bulanan tidak terlalu besar. Jadinya, lebih baik iuran bulanan tidak terlalu memberatkan pekerja swasta. “Kalau gaji kecil, tapi dipotong ya malah rugi,” ujarnya.
Pengamat ketenagakerjaan Universitas Airlangga, Subhan Hadi, mengapresiasi kebijakan tersebut. Tentu saja hal itu secara tidak langsung akan menghapus diskriminasi fasilitas yang didapat pekerja swasta dengan pegawai negeri atau yang bekerja di pemerintahan. Sebagaimana kita tahu, pegawai negeri sipil (PNS), misalnya, akan menerima dana pensiun setelah masa pengabdian kepada negara sudah melewati batas maksimal.
“Nantinya mirip yang diterima PNS, pekerja swasta bisa merasa secure setelah pensiun. Catatannya, apakah BPJS Ketenagakerjaan mampu mengelola dan memiliki dana untuk menanggung pembayaran pekerja swasta?” ujar Subhan.
Menurut Subhan, dana pensiun yang didapat secara teratur akan diterima setiap bulan dengan nominal terukur. Keuntungan bagi pensiunan pegawai negeri adalah mereka masih menerima pendapatan dengan jumlah tetap yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Jumlah tunjangan pensiun akan diterima bertahap hingga sang penerima meninggal dunia. Enaknya, setelah penerima pensiun meninggal dunia, tunjangan masih bisa diterima istri hingga anaknya.
“Model Jaminan Pensiun pekerja swasta ini mirip dengan PNS, yang setiap bulannya dipotong. Ini negara ikut menanggung demi kebaikan pekerja swasta agar bisa menerima pensiun setelah tidak bekerja lagi,” kata Subhan.
Menutup kesenjangan
Sudah menjadi rahasia umum kalau pegawai swasta selama ini merasa dinomorduakan oleh pemerintah. Hal itu dapat ditangkap dari obrolan sehari-hari dan suasana batin mereka yang pekerjaannya bukan sebagai abdi negara. “Enak jadi PNS, dapat tunjangan setelah pensiun,” “Pegawai swasta, rawan dipecat, tidak dapat uang pensiun.”
Begitu obrolan yang dapat ditangkap dari percakapan mereka yang selama ini tidak merasakan fasilitas JP. Sebenarnya, kalau mau jujur, perkataan-perkataan yang muncul itu lebih sebagai bentuk kekhawatiran pekerja swasta dalam menyongsong hari tua.
Mengapa? Tiadanya pendapatan tetap bagi seseorang ketika menjalani kehidupan sehari-hari tentu menimbulkan keresahan. Apalagi, selama hidupnya mereka terbiasa mendapat penghasilan bulanan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Memang kasus itu tidak bisa digeneralisasi. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa perbedaan perlakuan pemerintah tetap memunculkan gap psikologis antara pekerja swasta dan pegawai negeri serta abdi negara lainnya.
Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Muhammad Rusdi, mendesak pemerintah agar manfaat berkala JP yang diterima pekerja swasta sebesar 75 persen dari gaji terakhir yang diterima. Program JP yang berbasis tabungan dan asuransi sosial, dibagi dalam dua kategori, yakni pekerja yang sudah mengabdi lebih 15 tahun dan kurang 15 tahun.
Pembedaan fasilitas itu dengan mempertimbangkan aspek untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak, antara lain, pada saat peserta kehilangan atau berkurang pekerjaannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.
Parameter hidup layak sebagaimana diatur dalam perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL) harus dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya, seperti kebutuhan makanan, minuman, pakaian, kesehatan, perumahan, transportasi, dan pendidikan.
“Besaran manfaat berkala yang diterima oleh pekerja swasta harus sama dengan PNS, TNI, dan Polri, serta pekerja BUMN,” ujar Rusdi. “Artinya, tidak boleh ada diskriminasi dalam pemberian manfaat pensiun karena sejatinya para pekerja swasta juga sudah berkontribusi setiap bulannya dalam membayar pajak.”
Pertanyaannya sekarang, mampukah BPJS Ketenagakerjaan dalam menjalankan amanah yang terbilang berat ini? Terkait dengan kewajiban menyelenggarakan program JP yang akan berdampak pada peningkatan jumlah peserta dan pengelolaan dana, BPJS Ketenagakerjaan ternyata sudah mengantisipasinya.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, mengatakan program ini berlaku bagi karyawan dengan masa kerja 15 tahun ke atas. Gaji yang diterima 40-50 persen dari upah terakhir. Kalau di atas 15 tahun, peserta bisa mendapat pensiun per bulan. “Kalau di bawah 15 tahun bisa diambil tunai,” katanya.
BPJS Ketenagakerjaan juga sudah mengantisipasi meningkatnya peserta pensiun dengan menyiapkan semua perangkat, termasuk sistem pelayanan. Tujuannya ialah tidak terjadi kemandegan atau penurunan pelayanan akibat jumlah tenaga kerja yang terbatas, tapi harus melayani peserta pensiun yang membeludak.
“Badan ini juga menjalin kerja sama dengan perbankan yang menyediakan titik-titik pelayanan. Kini terdapat 512 titik pelayanan dan ditargetkan menjadi 1.000 pada akhir 2014,” kata Elvyn belum lama ini.
Karena ada aturan main dalam mengelola dana pensiun pekerja swasta, BPJS Ketenagakerjaan tengah menanti petunjuk dari pemerintah. Dengan kata lain, bersamaan dengan persiapan semua perangkat penunjang realisasi program JP, institusi yang dulunya bernama PT Jamsostek ini juga menunggu terbitnya peraturan pemerintah tentang Jaminan Pensiun Pekerja Swasta.
“Pensiun ini masih dalam tahap pembahasan oleh instansi terkait. Setelah peraturan pemerintah itu disahkan, BPJS Ketenagakerjaan akan melakukan kampanye secara masif untuk menginfokan kepada pekerja dan perusahaan,” kata Elvyn.