REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Para hakim di Pengadilan Pajak hendaknya tidak salah menerapkan aturan hukum dalam putusannya demi memberikan keadilan dan kepastian hukum kepada wajib pajak (WP) yang mengajukan banding.
“Dengan mempertimbangkan keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan dalam penerapan hukum pajak, pemerintah dan penegak hukum perlu lebih bijaksana melihat persoalan penuntasan hukum atas utang pajak untuk kepentingan bersama,” kata dosen FE Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Wirawan B Ilyas, Jumat (5/12).
Konteksnya, para hakim dinilainya masih menggunakan dua undang-undang yang berbeda dalam menyelesaikan kasus seperti yang menimpa dua anak perusahaan Asian Agri Group (AAG). Yakni, UU Nomor 5 tahun 1986 jo UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang justru tidak mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
“Wajar bila publik menilai kemampuan hukum para hakim dipertanyakan saat penuntasan sengketa pajak masih berkutat pada pemahaman kompetensi absolut penuntasan hukum melalui dua UU yang berbeda tadi,” tegas Wirawan.
Padahal, menurutnya, kasus pajak AAG merupakan pertaruhan besar bagi kredibilitas Pengadilan Pajak di mata publik, dunia usaha, dan internasional.
Guru Besar Hukum Pajak FH Universitas Hasanuddin M Djafar Saidi menilai, penyelesaian sengketa pajak memiliki hukum formal tersendiri. Pengadilan Pajak punya hukum acara tersendiri seperti diatur dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (KUP), UU Penagihan Pajak dengan surat paksa, dan UU Pengadilan Pajak.
“Jadi sama sekali tidak ada celah untuk menggunakan dasar hukum lain karena sudah detil sekali. Khususnya mengacu pada UU KUP Pasal 25 yang menyatakan WP berhak mengajukan keberatan atas SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) yang diterbitkan Ditjen Pajak,” papar Djafar.