Senin 08 Dec 2014 17:54 WIB

Ingin Setop Impor, Kemendag: 10 Tahun Lagi Mungkin Bisa!

Rep: C85/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petani garam. Ilustrasi
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Petani garam. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Isu tentang penghentian impor hanya isapan jempol. Belum ada kata sepaham di antara kementerian yang mengurusi industri garam nasional.

Bila Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengatur volume peningkatan produksi garam sudah menyanggupi kebijakan stop impor garam, tidak demikian dengan Kementerian Perdagangan yang mengatur perizinan impor garam ini. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan bahkan dengan tegas menyatakan, Indonesia tidak akan bisa menghentikan impor garamnya hingga sepuluh tahun ke depan.

"Sampai sepuluh tahun ke depan, kita tidak akan bisa stop impor. Sepuluh tahun kalau bisa penuhi 2 juta haduh hebat betul. Cari tanah susah, oleh karena itu agar kita mau sukses di pangan, tanah produktif tidak boleh lagi," ujar Partogi di Kementerian Perdagangan, Senin (8/12).

Selang beberapa jam sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sempat mencemaskan bila sulitnya penghentian impor ini terkait dengan keberadaan mafia garam.  Bila dalam industri gula ada samurai gula, Menteri Susi menyebut istilah yang sama dalam industri garam.

"Saya minta kepada Kemenperin dan Kemendag untuk buka itu siapa samurai 5. Siapa itu samurai  7. Di Korea, mereka melawan korupsi dengan membuka siapa yang terlibat," ujar Menteri Susi.

Ketika dikonfirmasi usai acara seminar audit di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Menteri Susi enggan membahas lebih jauh. "Kalian dong, jurnalis yang harus investigasi siapa itu samurai-samurai," jelas Susi kepada Republika.

Sebutan samurai sendiri, di industri gula mengacu pada importir-importir gula yang menguasai pasar. Sebelumnya, pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan meminta pihak Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan untuk membuka lebih rinci keperluan garam nasional.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement