REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan Dasar dan Menengah Anies Baswedan untuk memberhentikan Kurikulum 2013 didasarkan karena belum siapnya faktor implementasi dari kurikulum tersebut.
Hal itu diungkapkan Anies di depan peserta dan dosen dalam acara seminar yang gelar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jumat (12/12).
Sebelum menutup sambutannya, Anies kembali menyinggung soal kebijakannya menghentikan sementara Kurikulum 2013.
"Mumpung masih ramai dibicarakan, saya jelaskan K13 ini, ada beberapa masalah, tapi yang menjadi masalah ini ditetapkan secara massif dan bersamaan, tetapi tidak disertai persiapan-persiapannya," ujar Anies.
Hal itulah yang kemudian kebijakan penerapan K13 dihentikan sementara untuk dievaluasi. Sembari dievaluasi, implementasi K13 juga disiapkan seperti kesiapan para guru dan segala infrastrukturnya.
"Tunggu semua siapnya dulu, guru-guru dan muridnya, jangan tanya kapan bisa siapnya, tetapi seberapa lama kesiapan guru-guru tersebut," kata Anies.
Sementara di saat yang bersamaan di Kampus UPI juga digelar diskusi pembahasan mengenai kelanjutan K13 ini. Prof Dr Said Hamid Hasan yang merupakan Ketua Tim Pelaksana Pengembangan Kurikulum 2013 mengatakan permasalahan dihentikannya K13 ini karena belum siapnya proses implementasi. Sedangkan dari segi substandi K13 ini dinilai lebih baik baik dibandingkan kurikulum sebelumnya.
Dia mengatakan K13 ini memang didesain untuk meningkatkan kualitas ajar dan kualitas siswa dalam sistem pendidikan.
"Kita menganalisis kurikulum 2006, kita melakukan analisis lebih dari ke 400 kota/kabupaten. Kita masukkan pendidikan karakter. Begitu kita masukkan, kita ke lapangan dan kita lihat, mohon maaf Kurikulum 2006 tidak sebaik kurikulum 2013,’’ ujar dia.
Ia menambahkan dari segi pembentukan juga hanya Kurikulum 2013 yang terbuka untuk dinilai langsung oleh masyarakat. Selain itu dalam K13 ini juga begitu ditekankan pendidikan karakter baik untuk guru maupun siswanya.
Penolakan K13 ini kata dia, yang datang dari berbagai pihak salah satunya guru, karena tidak mudahnya mengubah pola pikir masyarakat.
"Makanya butuh waktu dan proses yang agak panjang untuk mengubah mind set pengajar agar bisa merealisasikan sistem pengajaran berbasis pendidikan karakter," ujarnya.
Ia mengatakan dari evaluasi yang dilakukan timnya, 80 persen menitikberatkan pada proses implementasinya.