REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan terpidana mati boleh mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK), namun kecil kemungkinan diterima.
"Jadi boleh terpidana mati mengajukan PK, tapi kecil kemungkinan diterima," katanya usai menghadiri peresmian Pusat Sejarah Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Jumat (19/12).
Hatta menegaskan yang bisa menghentikan hukuman mati hanya presiden melalui permohonan grasi. Dia juga mengatakan PK itu tidak menghambat eksekusi mati, karena permohonan PK itu harus disertai dengan bukti baru (novum).
"PK boleh asal ada novum, dan itu tidak gampang," katanya.
Sedangkan Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan permohonan PK yang diajukan oleh para terpidana mati akan menghambat proses eksekusi.
"Kalau pidana mati, harus ditunggu semua tuntas baru bisa dieksekusi. Beda dengan orang dipidana 20 tahun atau 15 tahun atau lima tahun itu bisa langsung dilaksanakan tanpa menunggu putusan PK, tapi kalau mati kan nggak," kata Prasetyo.
Jaksa Agung mengatakan jika para terpidana mati ini langsung dieksekusi kemudian PK mengabulkannya siapa yang bisa mengembalikan (menghidupkan).
"Kalau sudah terlanjur mati, ternyata putusan lain, siapa yang bisa mengembalikan," tegas Prasetyo.
Untuk itu, lanjutnya, pihaknya akan berbicara dengan MA apakah para terpidana mati ini memiliki novum yang diajukan dalam permohonan PK-nya.
"Benar apa tidak (ada novum), atau sekadar untuk mengulur waktu saja," katanya.
Prasetyo mengakui adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan PK lebih sekali membuat hambatan dalam melakukan eksekusi terhadap para terpidana mati.
"Ini persoalannya tidak ada batasannya (PK). sekarang justru kita ingin ada pembatasan," katanya.