Senin 22 Dec 2014 05:29 WIB

Abdullah Delancey, Berawal dari Iman Buta (2)

Rep: c70/ Red: Damanhuri Zuhri
Dua Kalimat Syahadat (ilustrasi).
Foto: kaligrafibambu.com
Dua Kalimat Syahadat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,

Delancey menemukan ketenangan dalam Islam

Ia akhirnya menyadari, selama ini menerima Kristen dengan iman buta. Ia sangat menyayangkan dirinya, mengapa tak pernah muncul pertanyaan seperti ini sebelumnya. Ia tak mengerti, bagaimana mungkin ia tak pernah menyadarinya sedari dulu.

Delancey mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya di dalam Alkitab. Namun tak membuahkan hasil. Ia akhirnya menyimpulkan, konsep Trinitas hanyalah sebuah mitos.

Mitos bahwa Tuhan cukup kuat menyelamatkan seseorang kelak. Seketika itu ia tak lagi percaya dengan agama yang ia peluk. ”Seluruh iman Kristianiku runtuh,” katanya mengenang.   

Delancey akhirnya memutuskan untuk meninggalkan gereja. Sang istri yang mengalami kegundahan yang sama, akhirnya mengikuti langkahnya. Keluarga Delancey ketika itu akhirnya tak menganut satu agama pun. Meski masih percaya adanya Tuhan. Inilah awal dari perjalanan spiritualnya.

 

Kondisi tersebut adalah masa-masa terberat dalam kehidupan Delancey. Selama ini yang ia tahu hanyalah Kristen, semua tentang agama ini. Namun ia merasa harus menemukan kebenaran.

Akhirnya, ia mulai mempelajari berbagai macam agama. Ia mulai membandingkan satu demi satu agama yang ia ketahui. Sampai ia mendengar Islam.

Apa itu Islam? Sejauh yang ia tahu, ia tak pernah mendengar tentang Islam atau Muslim. Di negara bagian Kanada mana pun, ia jarang mendengar orang mengucapkan Muslim. Kecuali, berita-berita buruk tentang Islam di media massa.

Bagi Delancey saat itu, Islam bukan agama yang masuk dalam pertimbangannya. Juga bukan agama yang ingin ia pelajari. Tapi, kemudian ia mencoba membaca sedikit tentang Islam.

Sedikit demi sedikit, namun terus ia lakukan. Hingga ia menelaah Alquran. “Wahyu ini sebuah kebenaran yang indah,” katanya menuturkan.

Delancey bahkan menemukan sebuah masjid. Masjid yang terdekat dari rumahnya yang berjarak sekitar 100 mil. Suatu hari, ia membawa keluarganya menuju masjid tersebut.

Selama perjalanan, ia merasa gugup, namun senang. Ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Apakah aku diperbolehkan masuk ke dalam masjid meski aku bukan seorang Arab atau Muslim?”

Setibanya di masjid, Delancey meyakinkan dirinya, jangan takut. Ternyata ia disambut dengan sangat hangat. Baik dari imam masjid, atau jamaah yang berada di sana. Mereka semua tak seperti yang ada di pemberitaan selama ini.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement