Selasa 30 Dec 2014 19:11 WIB

PPATK : Transaksi Tunai Jadi Modus Utama Korupsi

Rep: Ira Sasmita/ Red: Joko Sadewo
Kepala PPATK M Yusuf
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Kepala PPATK M Yusuf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yusuf mengatakan, dari kasus korupsi yang menonjol sepanjang tahun 2014 diketahui modus utamanya melalui transaksi tunai.

M Yusuf mengatakan Transaksi tunai dinilai menjadi pilihan utama dalam upaya penyuapan, korupsi, perpindahan dana serta didukung mata uang Indonesia yang relatif rendah dibanding mata uang asing. "Concern kami menyangkut orang Indonesia yang masih gemar menggunakan transaksi tunai untuk menghindari sistem keuangan. Perlu ada upaya untuk pembatasan transaksi tunai," kata Yusuf saat memaparkan Refleksi Tahun 2014 PPATK, di kantor PPATK, Jakarta, Selasa (30/12).

Dia menyontohkan kasus bekas pegawai Dirjen Pajak Gayus Tambunan yang diketahui menghimpun dana tunai dalam jumlah sangat besar yang tidak sesuai dengan profilnya sebagai PNS Golongan III/a. Dana tunai digunakannya untuk membeli aset dan dimasukkan dalam Safe Deposit Box (DSB). Yang salah satunya berisi uang tunai dalam mata uang asing setara Rp 75 miliar.

Karena itu, Yusuf melanjutkan, pembatasan transaksi tunai atau uang kartal harus dilakukan. PPAT telah menyusun drat awal Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai dan mendorong Kementerian Hukum dan HAM untuk memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional 2015.

"Kami sudah masukkan ke Kemenkumham, sayangnya tidak masuk prioritas prolegnas," ungkapnya.

Padahal, pembatasan transaksi tunai akan membawa banyak dampak positif. Seperti mengurangi biaya pencetakan uang dengan selruh risikonya. Lalu mendorong masyarakat mengoptimalkan penggunaan jasa perbankan dan jasa keuangan. Serta mengeliminir sarana yang dapat digunakan untuk melakukan gratifikasi, suap dan pemerasan.

Selain itu, PPATK juga merekomendasikan perluasan pihak pelapor. Mengingat semakin canggihnya modus TPPU yang tidak hanya melibatkan penyedia jasa keuangan. Tetapi juga melibatkan pihak lain seperti perusahaan modal ventura, perusahaan pembiayaan infrastruktur, dan lembaga keuangan mikro. Modus TPPU juga diduga menjangkau profesi-profesi tertentu seperti advokat, akuntan, penasehat keuangan, dan notaris.

PPATK menurut Yusuf telah mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pihak Pelapor Baru kepada Kemenkumham. Diharapkan setelah RPP diteken, penyedia jasa keuangan dan kelompok profesi tersebut menjadi pihak pelapor baru yang wajib melaporkan transaksi keuangannya ke PPATK.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement