REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI memberlakukan revisi peraturan menteri ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 40 Tahun 2012. Usai merevisi peremnaker itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Hanif Dhakiri, menyampaikan, tenaga kerja asing (TKA) sebagai guru-guru agama apa pun tidak diperbolehkan lagi masuk di Indonesia.
Ketua Bidang Kerja Sama Luar Negeri, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhyidin Junaidi menilai, kebijakan itu tidak relevan. Pertama, masalah administrasi dan kewenangan ihwal guru-guru agama asing itu berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua, kebijakan itu terlalu mengada-gada.
“Jumlah guru agama asing di Indonesia sedikit. Mereka tersebar di pesantren, universitas dan lainnya,” kata Kiai Muhyidin saat berbincang dengan ROL, Ahad (4/1).
Karena itu, lanjutnya, jangan terburu-buru mengambil kesimpulan tanpa ada riset. Itu jelas sangat berbahaya, yang artinya guru asing dianggap sebagai penyebar gerakan radikalisme. Padahal, gerakan radikalisme itu disebabkan banyak faktor.
“Misalnya, masalah ekonomi, sosial budaya, ketidakadilan, dan lainnya. Jadi, kalau masalah itu dijadikan landasan tentu berlebihan,” kata dia.