REPUBLIKA.CO.ID,
Muslim Uighur menjadi kelompok minoritas di wilayah barat laut Xinjiang. Sehari-harinya delapan juta umat Muslim Uighur ini menggunakan bahasa Turki.
Kelompok hak asasi manusia menuding Otoritas Cina telah mekukan penindasan atas nama terorisme terhadap umat Muslim Uighur di Xinjiang.
Muslim Uighur telah membangun hubungan baik dengan muslim lainnya di Almaty. “Muslim Uighur mendapat hak dan tempat yang sama dengan kelompok dan etnis lainnya di Khazakhstan, di sini mereka tidak dibatasi,” tutur pengamat dari Lembaga Penelitian Khazakhstan, Syaroezhkin.
“Ada 260 ribu warga Uighur yang tinggal di negara ini dan membaur dengan masyarakat setempat. Khazakhstan tidak mendukung adanya kebijakan sparatisme etnis,” katanya.
Muslim Uighur yang tinggal di Almaty, hidup dengan rukun dan kompak, saling menjaga tali persaudaraan dengan sesama, bahkan di sana umat muslim Uighur dapat memiliki kafe, restoran hingga mendirikan masjid.
Persaudaraan mendorong ratusan orang di Almaty menggalang dukungan untuk Uighur. Setelah adanya kerusuhan di Ibukota Xinjiang pada Juli 2009.
“Sejak kerusuhan 2009, Muslim Uighur beribadah di sini, mereka menangis karena tidak memiliki saudara di Xinjiang,” tutur petugas masjid, Bibi Sonya yang pinda ke Almaty dari Xinjiang.
“Kami tidak tahu siapa yang bersalah dan harus bertanggung jawab atas konflik ini, namun kapi hanya merasa semua warga Uighur adalah keluarga,” tuturnya.
Kini sekitar 1,5 persen penduduk Khazakhstan terlebih di Almati berasal dari Uighur, Xinjiang. “Uighur adalah saudara kami, dan kami peduli dengan apa yang terjadi di Xinjiang, di sana telah lahir pemberontakan sebab pemerintah Cina menghukumn mereka dengan alasan agama,” tutur pengamat Hak Minoritas Internasional, Ali.