REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Ketika tim sepak bola Iran dan Irak bertemu pada (23/1) di laga perempat final Piala Asia 2015 di Canberra, para pemirsa di Iran, kemungkinan, tak mendapat gambar pertandingan yang lengkap. Kondisi ini terjadi menyusul sensor yang dilakukan pemerintah Iran. Sensor dilakukan lantaran muncul tayangan gambar seorang perempuan Australia keturunan Iran yang berada di tengah keramaian dengan pakaian yang dianggap tidak pantas.
Di Iran, perempuan tidak diizinkan untuk menghadiri pertandingan sepak bola, mencegah percampuran antara laki-laki dan perempuan di kerumunan stadion.
Jurnalis Iran-Australia, Talieh, tak pernah begitu berminat untuk pergi ke pertandingan sepak bola di negara asalnya, sampai ia menyadari bahwa hal itu ilegal. "Ketika Anda dihalangi untuk melakukan sesuatu, Anda lebih tertarik untuk mendapatkannya," ujarnya baru-baru ini.
Pengalaman pertamanya berada di stadion sepak bola dengan lawan jenis adalah ketika Iran bertemu Qatar pekan lalu di Piala Asia. "Menonton kebahagiaan orang itu sangat menarik dan luar biasa, dan juga di Australia, komunitas Iran di sini adalah komunitas yang terbelah, tapi di acara ini, Anda bisa melihat orang-orang bersatu. Jadi ini sangat bagus," tuturnya.
Iran telah lama memberlakukan larangan bagi perempuan untuk menghadiri acara olahraga, khususnya sepak bola.
Wakil Direktur ‘Kampanye Internasional untuk Hak Asasi Manusia’ di Iran, Gissou Nia, mengatakan, Kementerian Olahraga dan Kepemudaan Iran telah memutuskan bahwa "percampuran antara laki-laki dan perempuan di acara olahraga itu tidak Islami dan mengancam ketertiban umum."
"Pembenaran lain yang diberikan adalah bahwa hal itu mengekspos para perempuan kepada perilaku kasar fans bola laki-laki," kata Gissou.
Rezim Iran telah berusaha keras untuk mencegah gambar perempuan Australia keturunan Iran di Piala Asia, tayang di televise Iran.
Vahid, warga Iran-Australia, mengatakan, selama siaran Piala Dunia Brasil, ketika kamera menyorot ke perempuan di kerumunan penonton, TV Iran menggantinya dengan gambar kerumunan di pertandingan Barcelona-Real Madrid. "Mereka melakukannya begitu baik sehingga penonton seringkali tak memperhatikannya. Dan setelah 20 tahun, orang-orang di Iran tahu apa yang terjadi. Semua orang tahu dan mereka tertawa. Mereka terbiasa akan hal itu," ujar Vahid.
Tapi sekarang, gambar tanpa filter sampai ke perempuan di Iran melalui media sosial. Gissou mengatakan, perempuan Iran menyesalkan fakta bahwa mereka tidak memiliki kebebasan yang sama seperti para perempuan di negara-negara lain.
"Media sosial telah memperumit pemerintah Iran ... Anda bisa membuka Instagram, mengetik '#TeamMelli', nama tim nasional sepak bola Iran, dan Anda akan melihat banyak foto selfie ekspatriat Iran, para perempuan, di pertandingan, "ungkapnya.
Ia menguraikan, "Para perempuan itu punya gambar bendera Iran di pipi mereka, mereka mengenakan celana legging bendera Iran, mereka bahkan terbungkus bendera. Dan mereka ada di pertandingan, di stadion, dan itu mengesankan adanya pelarangan. Dan tidak diizinkan untuk menghadiri pertandingan serta berpartisipasi atas nama kesetaraan gender, itu hanya benar-benar membuat fokusnya makin tajam. "
Berjuang untuk perubahan bisa timbulkan konsekuensi berat
Banyak perempuan di Iran telah berupaya untuk menghadiri acara olahraga publik, tetapi akibatnya bisa parah.
Tahun lalu, perempuan Iran-Inggris, Ghoncheh Ghavami, ditahan, setelah ia melakukan protes damai atas larangan bagi perempuan untuk menghadiri pertandingan voli.
Gissou menjelaskan, meskipun tidak semua otoritas di Iran keberatan dengan adanya perempuan menghadiri pertandingan olahraga, aksi demonstran telah mampu mengubah pikiran penguasa. "Ada pemikiran di antara beberapa anggota parlemen bahwa ini adalah sesuatu di mana para perempuan semestinya ambil bagian. Tapi kemudian ada dorongan untuk kembali memberlakukan pelarangan," katanya.
Ia menambahkan, "Sudah ada beberapa diskusi. Sayangnya, kami belum sampai pada titik di mana perempuan diperbolehkan masuk ke stadion sepak bola."