REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (UB) Malang, Prof Erani Yustika, menyatakan sumber korupsi ada dua, yakni anggaran yang dikumpulkan dari pajak rakyat dan dalam bentuk kebijakan.
"Praktik korupsi di Indonesia selama ini menggunakan dua sumber kekuatan itu. Oleh karena itu, lembaga indenpenden seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat dibutuhkan untuk memberantas praktik-praktik yang merugikan negara tersebut," tegas Prof Erani ketika berorasi di hadapan pengunjuk rasa dari berbagai elemen yang tergabung dalam gerakan #SaveKPK, di Malang, Jawa Timur, Senin (26/1).
Seharusnya, kata Erani, KPK dapat bergerak sepenuhnya, meskipun status lembaganya adhoc. Sebab, selama ini kinerja lembaga hukum seperti Polri, Mahkamah Agung (MA) belum maksimal dalam menuntaskan permasalahan korupsi di Tanah Air.
Dalam orasinya, Erani juga berharap tidak ada intervensi politik masuk di dalam lembaga hukum tersebut. Semua kasus korupsi harus diurus dan dituntaskan, tidak boleh ada kepentingan politik masuk di dua lembaga itu karena musuh utama masyarakat dan bangsa ini adalah koruptor.
Menurut dia, KPK dan Polri memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar terkait belum tuntasnya beberapa kasus besar, seperti BLBI, Bank Century, mafia pajak dan pertambangan. APalagi, pola korupsi yang sudah menggurita ini modelnya berbungkus kebijakan.
Ia mengakui kasus yang ditangani KPK cukup efektif, meski belum merambah pada kasus lebih besar.
"Kami terus mendorong agar ke depan KPK ke ranah kasus-kasus korupsi yang lebih besar," tegasnya.