REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA BARAT -- Dengan bermodalkan niat untuk membuat nasib kehidupannya lebih baik, Sunarya rela memboyong keluarga kecilnya untuk merantau dari kampungnya di Sukabumi dan bekerja sebagai pedagang cireng di Ibu Kota Jakarta.
Selama bekerja di Jakarta, Sunarya tinggal di sebuah kontrakan yang lebih terlihat seperti bilik berukuran 2,5 meter x 2 meter di RT 07 RW 01 Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Rupanya tempat ini merupakan sebuah pemondokan dua tingkat dengan 17 kamar dan dua kamar mandi. Di tempat ini, Sunarya dan keluarga berbagi suka dan duka bersama ratusan penghuni lain yang berasal dari luar DKI Jakarta.
"Penghasilan saya sebulan enggak nentu, tapi cukup buat makan saya, istri dan anak semata wayang kami," ujarnya saat di temui oleh Republika, Rabu (11/2).
Pemondokan bertarif sewa Rp 300.000 per bulan per satu kamar itu dihuni para pendatang yang masih percayai Ibu Kota sebagai tempat mereka mengais rezeki. Pendatang tersebut kebanyakan bekerja sebagai penjual sayur-mayur, makanan dan minuman, buruh konveksi dan sablon, kuli bangunan atau kuli pasar, pengojek sepeda motor, dan juru parkir. Dengan kerja inilah mereka bertahan hidup dan tinggal berjejalan di pemondokan itu.
Gang selebar 1,5 meter menjadi pembatas pemondokan dan bangunan bertingkat tempat usaha konveksi dan sablon, warung makan, dan warung kelontong. Gang itu pun sebenarnya saluran air yang ditutup papan agar bisa dijadikan tempat berjualan, mencuci, parkir, bersantai, bahkan arena bermain anak-anak.
Menurut Camat Tambora, Mursidin, wilayah Kalianyar memiliki luas sekitar 32 hektar, tetapi dihuni hampir 30.000 jiwa sehingga menjadi kawasan terpadat di Tambora. Bahkan, Tambora kini berpredikat sebagai kecamatan terpadat se-Asia. Kepadatan penduduk 500 jiwa per hektar atau jauh melampaui kategori wilayah padat yang melebihi 150 jiwa per hektar.
”Yang juga bikin prihatin, Tambora dikenal kumuh karena permukiman tidak teratur, sering kebakaran, tidak layak huni dan pastinya juga padat penduduk,” katanya.
Sejarah mencatat Tambora menjadi jantung kehidupan Jakarta saat masih bernama Batavia, dengan kota tua berupa deretan bangunan zaman kolonial bekas kantor, gudang, toko, bahkan pabrik. Seiring waktu, Tambora terus berperan sebagai magnet ekonomi Jakarta yang menarik orang-orang untuk bermukim, berusaha, dan berkembang.
”Selama memberi kehidupan, saya rasa Tambora tidak akan ditinggalkan biarpun kumuh,” tambah Mursidin.
Pemukiman yang padat juga membuat Tambora menjadi langganan kebakaran, ini diakibatkan banyaknya warga yang masih tidak sadar akan bahaya pencurian listrik. Ya, warga disini masih banyak yang nekat untuk mencuri listrik untuk mengaliri listrik di rumahnya. Kabel-kabel bertebaran dimana-mana, sepintas hampir mirip benang kusut.
Pemerintah bukan tidak memperhatikan masalah ini, seringkali petugas PLN setempat melakukan sweeping guna menertibkan masalah pencurian listrik seperti ini, karena hal ini tentu akan membahayakan keselamatan warganya. Namun nampaknya warga tak juga sadar akan bahaya tersebut.
Padahal jika ditelaah lebih dalam, dengan dasar rumah warga yang kebanyakan merupakan bangunan semi permanen apabila terjadi kebakaran, apinya akan sangat mudah menyebar ke pemukiman warga lainnya. Akibatnya api pun dengan cepat dapat melahap rumah warga dan tentu akan sulit di padamkan jika semakin banyak pemukiman warga yang ikut terbakar.
Namun dibalik masalah sosial tersebut, sejatinya daerah ini memiliki potesi ekonomi yang amat besar. Tercatat transaksi di kawasan perniagaan ini mencapai angka belasan milyar rupiah per-hari. Angka yang menakjubkan, hal ini bukan dari Mall eksklusif, tapi transaksi ini berasal dari pedagang-pedagang grosir pertokoan hingga pedagang kaki lima. Hal ini seakan membuktikan bahwa daerah ini memiliki potensi ekonomi yang besar.
Hal krusial lainnya adalah persoalan pendidikan yang seolah-seolah menjadi hal minoritas. Ada sesuatu yang paradoks disana antara perekonomian tinggi dan pendidikan yang sangat rendah. Bahkan sekolah yang ada disana bisa dikatakan tidak layak untuk menjadi sekolahan, selain karena gedung dan fasilitas yang kurang memadai, area lingkungan sekolah pun menjadi permasalahannya.
Banyak pengusaha-pengusaha di daerah Tambora yang justru mencari untuk mempekerjakan anak-anak di bawah umur, sekedar untuk packaging. Hal ini merupakan salah satu letak permasalahan utamanya. Anak-anak yang mengecap pendidikan di daerah Tambora, banyak yang lebih tertarik untuk mencari uang dibandingkan untuk bersekolah. Sehingga mereka berpikiran bahwa uang diatas segalanya dibandingkan dengan pendidikan.
Kiranya wilayah ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, mengingat masalah yang terjadi disini cukup sulit untuk diatasi. Warga disini tentu memiliki keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang layak, sama dengan warga lain yang juga tinggal di wilayah Jakarta. C04