REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VI telah menghasilkan sebuah dokumen bernilai historis, bernama Risalah Yogyakarta. Ini merupakan salah satu dokumen hasil KUII ke-VI, di antara tiga dokumen lainnya, yakni berupa rekomendasi-rekomendasi dari Komisi A (penguatan politik umat Islam), Komisi B (penguatan ekonomi umat Islam), dan Komisi C (penguatan budaya umat Islam).
Adapun Risalah Yogyakarta ini merupakan hasil sidang Komisi D dan dibacakan di dalam sidang pleno terakhir KUII Keenam di Yogyakarta, Rabu (11/2). KUII ke-IV sendiri diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang memayungi seluruh ormas Islam di Indonesia.
Risalah Yogyakarta, kata Ketua Umum MUI Din Syamsuddin, merupakan bentuk umum dari seluruh rekomendasi yang dihasilkan KUII ke-VI. Berikut isi Risalah Yogyakarta selengkapnya.
RISALAH YOGYAKARTA
Atas berkat rahmat Allah SWT, Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Rabiul Akhir 1436 H bertepatan tanggal 8-11 Februari 2015 telah berlangsung dengan lancar, baik, dan dinamis yang dihadiri oleh pimpinan Majelis Ulama Indonesia tingkat pusat dan tingkat provinsi seluruh Indonesia, zuama dan cendekiawan Muslim, pimpinan ormas-ormas Islam tingkat pusat, para sultan kesultanan di Nusantara, pengasuh pondok pesantren, pimpinan perguruan tinggi Islam, dan para tokoh Islam perseorangan.
Didorong keinginan luhur untuk menunaikan tanggung jawab kepada bangsa dan negara, KUII VI menyampaikan RISALAH YOGYAKARTA sebagai berikut:
Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah puncak perjuangan dan cita-cita umat Islam Indonesia.
Bahwa sebagai bagian terbesar dari bangsa ini, umat Islam memiliki tanggung jawab terbesar untuk menjaga, mengawal, membela, mempertahankan, dan mengisi negara Indonesia berdasar wawasan Islam rahmatan lil ‘alamin dan washatiyah dalam semangat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah, sebagai ciri Islam Indonesia yang berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Bahwa penyelenggaraan Negara Proklamasi harus berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai ruhnya. Oleh karena itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara liberal.
Bahwa kehidupan nasional dewasa ini telah mengalami penyimpangan dan pergeseran (deviasi dan distorsi) dari cita-cita nasional ditandai dengan derasnya liberalisasi dan kapitalisasi dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya. Sebagai akibatnya, muncul gejala kerusakan dalam kehidupan bangsa, antara lain ditandai oleh sikap dan perilaku pragmatis, koruptif, manipulatif, materialistik, konsumtif, individualistik, dan hedonistik.
Bahwa dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar, umat Islam bersama seluruh komponen bangsa bertekad meluruskan kiblat bangsa, demi terwujudnya Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.