REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) Keenam pada Rabu (11/2) menghasilkan Risalah Yogyakarta. Isinya, antara lain menyerukan kepada penyelenggara negara dan kekuatan politik mengembangkan politik berakhlakul karimah.
Terkait hal itu, politikus Partai Amanat Nasional (PAN), Tjatur Sapto Edi menilai seruan dari Risalah Yogyakarta itu sejalan dengan visi PAN, sehingga partainya pun mendukungnya.
"Itu (Risalah Yogyakarta) sejalan dengan asas PAN sejak tahun 2000. PAN dengan dasarnya Pancasila dan berasas akhlak dan moral agama yang membawa rahmat sekalian alam," ujar Tjatur Sapto Edi Republika, Ahad (15/2) di Bekasi.
Tjatur melanjutkan, PAN menyambut baik bila kemudian Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai penyelenggara KUII, menindaklanjuti Risalah Yogyakarta. Yakni, misalnya dengan membentuk Badan Pekerja, sehingga harapan-harapan peserta kongres terhadap insan-insan politik bisa didorong terwujud.
Ia juga mengatakan, pihaknya tidak keberatan bila sebagai tindak lanjut KUII Keenam, akan ada semacam forum koalisi strategis. Itu misalnya menjadi tempat bagi para insan politik maupun ormas Islam menyinergikan tujuan dan strategi bersama demi kepentingan umat Islam dan maslahat bangsa.
"Asalkan, jangan membatasi diri (kepentingan Muslim saja). Sebab, keindonesiaan kita tidak bisa dipertentangkan dengan keislaman," katanya.
Sehubungan dengan pengamatan sejumlah kalangan bahwa ada kerenggangan hubungan antara partai-partai dan ormas-ormas Islam, Tjatur membantahnya. Sebab, kata Tjatur, untuk PAN sendiri secara historis memang berbasis pada ormas Muhammadiyah.
Namun, pendukung utama PAN tidak hanya dari kalangan Muhammadiyah dan tergantung tiap-tiap daerah konstituen.
"Di Madura, misalnya, pendukung kami ya warga Nahdliyin. Atau, di Papua dan Sulawesi Utara, ya orang Nasrani. PAN itu partai nasional, meskipun faktanya berbasis historis dari Muhammadiyah," jelasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 yang digelar di Yogyakarta, menghasilkan tujuh poin komitmen bersama yang disebut "Risalah Yogyakarta".
Pada butir ke-2 Risalah Yogyakarta berbunyi, menyeru penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) dan kekuatan politik nasional untuk mengembangkan praktik politik yang ber-akhlaqul karimah dengan meninggalkan praktik politik yang menghalalkan segala cara, dengan menjadikan politik sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, keamanan dan kedamaian bangsa.