REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) keberatan dan menolak empat klausul baru perjanjian dari lembaga pembiayaan the Global Fund yang akan berlaku pada 2016 mendatang.
Direktur Eksekutif PKBI Inang Winarso mengatakan, The Global Fund merupakan lembaga pembiayaan yang memberikan bantuan dana untuk memerangi penyakit Acquired immune deficiency syndrome (AIDS), Tubercolosis (TBC), dan Malaria.
The Global Fund sudah memberikan bantuan di sedikitnya 130 negara. Di Tanah Air, dia menyebut The Global Fund sudah memberikan bantuan itu sejak 2004 lalu.
"Setiap tahun the Global Fund memberikan antara Rp 50 juta sampai Rp 60 juta dolar AS untuk mengatasi malaria, AIDS, dan TBC. Sampai dengan sekarang lembaga itu sudah menyalurkan hibah ke Indonesia sebesar 550 juta dolar AS,” ujarnya kepada Republika, di Jakarta, Senin (23/2).
Namun, kata dia, ketika 2014 terjadi perubahan regulasi. The Global Fund sudah menyampaikan tambahan klausul itu melalui surat ke Indonesia karena bantuan untuk menangani AIDS dan TBC akan berakhir masa kontraknya pada Desember 2015. Sementara bantuan Malaria tahun ini sudah berlangsung.
"Tetapi kerangka kerja (framework) perjanjiannya belum disepakati Indonesia karena dalam framework yang harus ditandatangani pemerintah Indonesia itu ada enam klausul baru yang dimasukkan dalam regulasi The Global Fund 2015. Di antaranya hak imunitas dan privilege, hak mengakses internet seluas-luasanya, dan kerangka kerja perjanjian yang berlaku seterusnya," katanya.
Kemudian, kata dia, pada September 2014 lalu penerima dana hibah The Global Fund, termasuk PKBI, Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Aisyiyah, Komisi Nasional Penanggulangan AIDS, hingga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menggelar rapat bersama membahas bantuan the Global Fund.
Dalam pertemuan itu, Country Coordination Mechanism The Global Fund atau CCM Indonesia menyebutkan ada enam klausul baru. Pertama, pemerintah menandatangani framework dalam jangka waktu tak terbatas.
Klausul kedua, The Global Fund meminta pembebasan pajak ketika memberikan bantuan. Ketiga, The Global Fund meminta hak imunitas dan privilege.
Keempat hak mendapatkan akses informasi seluas-luasnya seperti internet tanpa batas, komunikasi tanpa boleh ada hambatan. Kelima, penggunaan bantuan tidak untuk melanggar hak asasi manusia (HAM). Klausul terakhir, ada audit penggunaan bantuan.
"Kami sepakat untuk klausul HAM dan audit untuk transparansi dan akuntabilitas bantuan. Tetapi pada rapat itu kami tegas menyatakan menolak klausul imunitas dan privilege, akses informasi seluas-luasnya, dan pembebasan pajak," ujarnya.
Seiring perkembangan waktu, ia berpikir ada negosiasi baru sehingga Indonesia tidak perlu memenuhi keberatan klausul itu.
Tetapi ketika rapat kembali digelar 10 februari 2015 lalu ternyata masih membahas klausul perjanjian yang sama. Hanya ada kelonggaran klausul imunitas yang dapat ditangguhkan dan berlaku dalam jangka waktu tiga tahun.
Untuk itu, pada 10 Februari 2015 lalu, PKBI sudah mengirimkan surat keberatan klausul ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Presiden, CCM, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Kementerian Perdagangan (Kemendag), hingga Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo).
"Namun sampai sekarang belum ada respons, termasuk dari Kemenkes yang berkaitan dalam hal ini," katanya.
Ia berharap pemerintah Indonesia segera mengambil sikap terhadap rancangan perjanjian framework yang diajukan The Global Fund.
"Dilakukan renegosiasi supaya tidak ada yang merugikan Indonesia. Karena ini bisa merugikan kedaulatan dan harga diri Indonesia kalau menerimanya," ujarnya.
Apalagi, kata dia, baru sembilan negara yang menandatangani klausul baru ini. Mereka mayoritas adalah negara miskin di Afrika seperti Rwanda, Ethiopia, Ghana, Uganda hingga negara kecil dan baru seperti Moldova.