REPUBLIKA.CO.ID, HONGKONG -- Putusan pengadilan negeri Hongkong terhadap kasus Erwiana merupakan salah satu langkah reformis Hongkong dalam menghargai para pekerja migran. Kasus Erwiana ini menimbulkan semangat terhadap buruh migran di Hongkong untuk tidak takut melawan kekerasan.
320.000 pembantu rumah tangga di Hongkong didominasi oleh orang Filipina, Indonesia, dan Thailand. Melalui kasus Erwiana, 320.000 buruh migran ini akhirnya mendapat perhatian khusus dari pemerintahan Hongkong.
Para aktivis buruh migran mengatakan, para penyalur asing memang kerap menyalurkan para buruh migran, kemudian dijadikan budak bagi para warga Hongkong. Derasnya arus penyaluran yang illegal membuat potensi penyalahgunaan buruh migran. Tak ayal, para buruh migran di luar negeri kerap mendapatkan kekerasan seksual dan juga tindak pidana.
Seperti dilansir CNN, Pemerintah Hongkong mulai mengizinkan pembantu rumah tangga bekerja di China sejak 1970-an. Keberadaan pembantu ini untuk mengisi kekurangan penduduk lokal yang ingin bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Mereka digaji dengan upah minimum 4.110 dollar Hongkong perbulan.
Amnesty Internasioanl juga mengatakan, kasus Erwiana ini berfungsi sebagai peringatan bagi pemerintah untuk mengehentikan eksploitasi pada pekerja rumah tangga.
"Pemerintah Hongkong tidak bisa lagi tutup mata, dan tak peduli terhadap kasus kekerasan terhadap buruh migran. Hentikan eksploitasi terhadap buruh migran," ujar Peneliti Hak Migran, Amnesty Asia Pasifik, Norma Kang Muico, Sabtu (28/2).