REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Para peneliti dari Australian National University (ANU) mengatakan dalam waktu 10 tahun mendatang uang kertas dan koin akan lenyap dari peredaran. Pasalnya, perekonomian yang semakin banyak tidak lagi menggunakan kedua jenis uang tersebut.
Peneliti dari Fakultas Ekonomi ANU sedang mengembangkan model pembayaran digital yang akan disahkan oleh pemrintah, yang bisa digunakan lima tahun mendatang.
Direktur Fakultas tersebut, Professor Rabee Tourky mengatakan di masa depan, kita tidak harus lagi membawa uang kertas ke mana-mana.
"Dalam penelitian kita timbul pertanyaan, apakah uang kertas akan terus bertahan? jawabannya adalah tidak," katanya baru-baru ini.
Professor Tourky mengatakan Bitcoins, sejenis mata uang digital yang sekarang ini sudah diperdagangkan secara elektronik menjadi inspirasi bagi usulan baru untuk menggunakan uang secara digital.
"KIta bisa membuat pembayaran dalam jumlah yang sangat kecil, misalnya setengah sen, dan juga kita bisa membuat pembayaran dalam jumlah sangat sangat besar," katanya.
Namun menurut Professor Tourky, ada juga sisi negatifnya sehingga orang masih enggan menggunakan Bitcoins saat ini.
"Karena orang belum percaya dan ini tidak didukung oleh pemerintah," katanya.
"Karena tidak adanya dukungan resmi, tidak ada infrastruktur keuangan yang mendukungnya. Jadi misalnya tidak ada kartu kredit Bitcoin."
Oleh karena itu, Departemennya mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan mata uang digital, sebagai alternatif bagi Bitcoin, dan bisa disebut AusBit.
Professor Tourky mengatakan AusBit akan bisa menjadi jawaban akan kekhawatiran mengenai keamanan dan proses serifikasi, karena akan mendapat dukungan dari pemerintah dan menjadi mata uang digital resmi.
Dia mengatakan model seperti ini sudah beredar di kalangan sektor keuangan selama beberapa waktu terakhir.
"Saya kira Bank Sentral Australia pasti juga sudah memikirkan hal tersebut. Masalahnya adalah semua ini harus dibahas oleh pemerintah Federal, bila mereka ingin mengawasi masalahnya dari sisi ekonomi," kata Professor Tourky.