REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi kebijakan publik Ichsanudin Noorsy menilai, kisruh antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan DPRD DKI Jakarta menunjukkan ketidakarifan pemimpin. Dalam hal ini, lanjut Noorsy, kesenjangan komunikasi kian lebar antara keduanya setelah Ahok menuding DPRD terkait dana titipan sebesar Rp 12,1 triliun.
Karenanya, kata Noorsy, semestinya sebelum RAPBD diserahkan ke Kemendagri, Ahok berkomunikasi dulu dengan DPRD. Ini agar bisa didalami secara internal, siapa yang terlibat usulan mata anggaran Rp 12,1 triliun itu.
"Itu dikembalikan dulu (RAPBD) ke DPRD. Bahas kembali dengan batas waktu tertentu," ujar Ichsanudin Noorsy dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu (7/3).
Dalam pandangan Noorsy, bila cara bijak semisal duduk bersama dengan DPRD itu ditempuh Ahok, maka akan menjadi lebih mudah. Yakni, apakah memang mata anggaran dengan Rp 12,1 triliun yang disebut Ahok sebagai dana siluman itu hasil kongkalikong oknum DPRD saja atau antara DPRD dengan SKPD. Adapun SKPD merupakan bagian dari kubu Ahok sebagai Pemprov DKI.
"Sekarang akhirnya membuat Ahok berhadapan dengan dua pihak sekaligus. Di satu pihak dengan DPRD dan di pihak lain, SKPD. Artinya, Ahok tidak mendayagunakan wewenangnya secara efektif," kata Ichsanudin Noorsy.
Adapun kultur politik yang mestinya Ahok kembangkan, kata Noorsy, ialah memberikan keteladanan. Karenanya, Noorsy menyarankan dilakukan audit manajemen terhadap seluruh proses perumusan RAPBD tahun ini. Sehingga, kedua belah pihak tidak larut dalam situasi saling tuding.
"Sehingga bisa ditemukan, siapa sesungguhnya yang melakukan ini. Apakah memang SKPD saja dengan titipan Dewan. Auditnya juga bukan ke BPKP, tapi BPK," kata Ichsanudin Noorsy. Pilihan terhadap BPK, bukan BPKP itu menurut Noorsy dilatari bahwa BPK ialah badan independen dan tidak di kubu eksekutif.
Bagaimanapun, Noorsy mempertanyakan, perihal Ahok dalam rentang waktu tersisa setelah Kemendagri menolak RAPBD hasil kesepatakan paripurna Pemprov-DPRD DKI itu. Sebab, Ahok nyata-nyata mengambil keputusan sendiri, yakni mengajukan RAPBD yang bukan hasil persetujuan Pemprov-DPRD DKI.
"Itu yang salah. Ini menabrak Undang-undang namanya," kata Ichsanudin Noorsy.
Dalam pandangan Noorsy, masalah kisruh ini tak lepas sebagai akibat demokrasi transaksional. Suka tidak suka, kata Noorsy, dalam demokrasi transaksional, kedua pihak (wakil rakyat dan pemerintah) keluar biaya, terutama untuk kampanye.
"Eksekutif keluar biaya, soalnya tentang konsesi-konsesi proyek. Dan itu terjadi hampir di semua tempat," ujar Ichsanudin Noorsy.
Noorsy juga menyayangkan sikap Ahok yang terkesan menuding pihak-pihak DPRD. Bahkan, Wakil Ketua DPRD DKI Abraham Lulung, sebut Noorsy, disarankan agar memperkarakan Ahok secara pidana bila, seperti yang disampaikan Lulung sendiri, diri keluarga Lulung didiskreditkan.
"Kalau tidak cocok dengan orang-orang internal, duduk baik-baik. Jadi jangan secara internal diteror. Bukan teror fisik. Cara Ahok bersikap, melahirkan psychological terror," ujarnya.