REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu sebab aparat penegak hukum abai terhadap hak anak dalam proses hukum adalah jenis kasus yang menjerat anak adalah seputar kenakalan remaja. Sayangnya, aparat penegak hukum kerap memakai cara diskriminatif yang jauh dari rasa efek jera terhadap anak.
Catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, sejumlah kasus anak memang dalam ranah kenalan remaja. Jenis kasus yang kerap menjerat anak adalah tawuran, perncurian, judi, dan penggunaan obat terlarang.
"Saat ini peradilan condong pada pemberian rehabilitas bagi anak. Anak mestinya dikembalikan kepada orang tua, jika orang tua ternyata tak memadai, maka anak dikembalikan kepada sekolah, jika langkah tersebut juga tak bisa ditempuh, maka anak dikembalikan ke negara," ujar Kepala Bidang Penanganan Kasus, Ichsan Zikry, Senin (23/3).
LBH Jakarta tak menampik, kenakalan remaja seperti itu akan membahayakan masa depan anak. Namun, terlepas dari hal tersebut, aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejasaan dan pengadilan mestinya tetap mengutamakan hak anak yang berhadapan dengan hukum.
Misalnya saja, menurut catatan LBH, lebih dari 90 persen kasus anak ditangani tanpa pendamping hukum, selain itu, banyak tahanan anak yang tidak memadai, bahkan pada tataran kepolisian anak kerap dijadikan satu dalam tahanan dewasa.