REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati hukum tata negara, Said Salahudin, mengatakan sedikitnya ada tiga konsekuensi yang muncul dari Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam konflik Partai Golkar. Termasuk di dalamnya keputusan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) yang diperintahkan oleh pengadilan untuk ditunda pelaksanaannya.
Pertama, kata dia, asas praduga rechtmatig (het vermoeden van rechtmatigheid) atau asas praesumptio iustae causa yang menentukan suatu KTUN harus tetap dianggap sah menurut hukum walaupun sedang digugat.
''Pemberlakuannya dibatasi atau dikecualikan oleh karena adanya perintah tentang penundaan pelaksanaan KTUN oleh pengadilan,” jelas Said, Senin (6/4)
Kedua, pemberlakuan atau daya laku (gelding) KTUN itu terhenti untuk sementara waktu (tijdelijk) sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Penghentian juga dilakukan jika ada penetapan lain yang mencabutnya.
Ketiga, keadaan hukum (rechtstoestand) dari permasalahan, dimaksud kembali pada keadaan atau posisi semula (restitutio in integrum) sebelum KTUN tersebut disengketakan.
“Ketiga hal itulah yang menjadi landasan yuridis untuk menyatakan kepengurusan Partai Golkar yang sah saat ini adalah kubu Aburizal Bakrie dan Idrus Marham hasil Munas Riau 2009,” ujar dia.
Kubu Aburizal Bakrie mendapatkan SK Menkumham sebelum diterbitkannya SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan kubu Agung Laksono.