REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi V DPR RI meminta Indonesia National Air Carriers Association
(Inaca) dan maskapai penerbangan nasional membentuk tim untuk menginventarisasi semua permasalahan penerbangan nasional. Termasuk memberikan masukan kepada Panja Keselamatan, Keamanan dan Kualitas Penerbangan Komisi V.
Langkah itu menuut Wakil Ketua Komisi V DPR RI Yudi Widiana Adia dilakukan menyusul banyaknya permasalahan penerbangan nasional yang disampaikan Inaca dan maskapai penerbangan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Inaca dan maskapai nasional, di ruang rapat Komisi V DPR, Senin (13/4).
“Komisi V meminta Inaca membentuk tim yang melibatkan seluruh maskapai penerbangan nasional menginvetarisasi semua permasalahan penerbangan baik dari sisi regulasi, sarana maupun prasarana untuk perbaikan penerbangan nasional,” kata Yudi dalam siaran persnya kepada Republika Online.
Dalam RDPU tersebut, Inaca dan 10 maskapai penerbangan yang hadir menyampaikan berbagai permasalahan. Salah satu yang menjadi keluhan maskapai penerbangan, lanjut Yudi, adalah belum lengkap peraturan menteri sebagai penjabaran UU No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan.
Selain itu, tambah politisi PKS daerah pemilihan Jawa Barat IV ini, regulasi yang ada juga belum seluruhnya memenuhi standar ICAO. Tak heran, bila penerbangan Indonesia masuk dalam kategori II. Hal ini juga yang menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi antara operator dan regulator.
“Inaca dan maskapai umumnya mengeluhkan soal ketidakdisiplinan regulator dalam hal menjaga updating regulasi nasional terhadap perkembangan ICAO yang menjadi guide line dunia penerbangan. Sementara beberapa airline besar yang melakukan penerbangan intrnasional berusaha sepenuhnya mengikuti standar ICAO. Disini terjadi ketimpangan karena regulasi kita tidak siap. Terbukti dari hasil audit Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP) dari International Civil Aviation Organization (ICAO) 2014, ada 8 poin (pokok-pokok) penting yang terkait dengan kemampuan dan peran pemerintah terhadap keselamatan penerbangan sipil, dan yang berada diurutan pertama adalah regulasi yang belum memenuhi standar ICAO,” jelas Yudi.
Salah satu ketidakdisplinan regulator dalam menerapkan peraturan keselamatan penerbangan, kata Yudi, adalah soal sertifikat bandara yang belum sesuai dengan UU No.1 tahun 2009 dan ICAO doc 9774. Hal itu terbukti dengan kasus penyusupan Mario di ruang roda pesawat Garuda yang sempat menghebohkan dunia penerbangan nasional.
Disisi lain, kata Yudi, persoalan prasarana dan infrastruktur keamanan penerbangan di bandara yang belum memadai juga menjadi keluhan operator. “Mereka meminta agar prasarana penerbangan ditingkatkan karena penerbangan sipil berpotensi menjadi target ancaman,” ujar Yudi.