REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Tokoh Nahdatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi mengatakan, penanganan radikalisme harus Indonesiawi, artinya penyelesaian masalah untuk kepentingan Indonesia saja.
"Sebenarnya di dunia itu, dunia ini kan ada perang terhadap terorisme. Menyelesaikan masalah terorisme itu untuk kepentingan Indonesia saja, tidak usah untuk kepentingan luar negeri," kata Hasyim disela-sela kehadirannya di Makassar, Rabu (15/4).
Menurut dia, peran ulama sebagai salah satu panutan masyarakat adalah sangat penting. Hal itu dimaksudkan agar dapat mencegah Warga Negara Indonesia (WNI) ke luar negeri dengan tujuan 'berjihad' menurut faham radikal ISIS.
Dia mengatakan, pendekatan yang dilakukan dalam menghadapi faham radikal harus dilakukan dengan mengedepankan falsafah ke-Indonesiaan, karena yang dihadapi adalah warga negara sendiri. Berkaitan dengan hal itu, dalam upaya mencegah meluasnya faham radikal ISIS di Indonesia, Badan Nasional Penanggulang Teroris (BNPT) bersama pihak Muspida Sulsel melakukan sosialisasi upaya preventif dengan menghadirkan tokoh masyarakat, tokoh agama dan akademisi.
Sementara itu, Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo mengatakan, pentingnya menyinergikan semua stakeholder dalam upaya mencegah penyebaran faham radikal ISIS di daerah ini, tidak dapat ditawar-tawar lagi.
"Semua pihak harus bersama-sama dalam melakukan upaya-upaya pencegahan, dengan segera melaporkan kepada pihak terkait jika ada pergerakan di sekitar atau lingkungannya yang mencurigakan," katanya.
Sementara itu, Dirjen Pembinaan Kemampuan BNPT Brigjen Pol Rudi Supriadi mengatakan yang bisa dilakukan saat ini adalah pembinaan bagi yang kembali ke tanah air, "Namun yang terbaik adalah mencegah saudara-saudara kita berangkat ke Irak dan Surya itu lebih baik daripada lantas kembali," katanya.
Hal tersebut dengan pertimbangan bahwa jika WNI yang menjadi alumnus Irak dan Surya itu dikhawatirkan membawa faham-faham radikal yang bertentangan dengan ideologi bangsa dan negara Indonesia.
Selain itu, bahaya lainnya jika membawa keahliannya dalam merakit dan menggunakan bom atau senjata api itu masuk ke Indonesia, kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat dekonstruktif.