Selasa 21 Apr 2015 00:53 WIB

Komisi III Pertanyakan Kegentingan Memaksa Perppu KPK

Rep: C82/ Red: Indira Rezkisari
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna M. Laoly mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR-RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (20/4). (Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna M. Laoly mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR-RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (20/4). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR menggelar rapat bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly terkait pembahasan Perppu Nomor 1 Tahun 2015 tentang Plt Pimpinan KPK, Senin (20/4). Dalam rapat tersebut, sejumlah fraksi mempertanyakan perihal urgensi atau kegentingan dari Perppu tersebut.

Anggota Komisi III dari fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Sudding mengatakan, Perppu diterbitkan ketika ada kegentingan yang memaksa. Kegentingan memaksa tersebutlah, lanjutnya, yang perlu ditelusuri.

"Ada syarat, kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum, terjadi kekosongan hukum dan kekosongan hukum yang tidak bisa diatasi dengan membuat UU karena terlalu lama. Apakah ini sudah sejalan dengan terbitnya Perppu ini," kata Sudding.

Hal senada disampaikan Daeng Muhammad dari fraksi PAN. Daeng menyebutkan, menurut UU, kegentingan yang memaksa menjadi syarat bagi Perppu untuk diterbitkan. KPK yang dibentuk karena polisi dan kejaksaan tidak berjalan, lanjutnya, merupakan memicu sistem karena lembaga utama tidak berjalan, bukannya sebagai lembaga utama.

"Apakah ketika Perppu tidak dikeluarkan pemberantasan korupsi (oleh kejaksaan dan polisi) akan hilang. Bukan berarti kami tidak ingin KPK kuat. Ini bahan kita di Panja," ujar Daeng.

Selain masalah kegentingan, anggota dari fraksi Nasdem Taufiqulhadi juga menyoroti keluarnya Perppu tersebut. Menurut Taufiq, Perppu KPK yang sudah dua kali keluar menunjukkan bahwa tidak ada aturan tetap yang mengatur untuk jangka waktu jauh ke depan. Seperti diketahui, Perppu KPK pernah dikeluarkan pada tahun 2009 saat nama dua pimpinan lembaga antirasuah tersebut, Bibit-Chandra diseret dalam kasus suap.

"Menurut saya negeri ini semuanya emergency. Kita tidak pernah mengatur negara ini dengan perspektif jauh ke depan," ujar Tauqif.

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, Menkum HAM Yasonna mengatakan, tidak mudah untuk menyelesaikan perseteruan antara penegak hukum, KPK-Polri beberapa waktu lalu. Menurutnya, dengan adanya Perppu tersebut, pimpinan sementara KPK akan memiliki payung hukum yang jelas dan pemberantasan korupsi akan terus berjalan.

Ia pun mengaku sepakat jika ke depan pemerintah tidak boleh "gampang" mengeluarkan Perppu, salah satunya dengan cara merevisi UU KPK. "Supaya kondisi-kondisi seperti ini tidak terulang kembali buat Perppu-Perppu yang akan datang maka saya kira memang revisi (UU KPK) kedepannya perlu dipikirkan, hanya sekarang kami masih mendorong UU KUHP lebih dulu untuk dibahas," kata Yasonna.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement