REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) menyatakan isu pangan berformalin sebenarnya sudah ada sejak 30 tahun lalu.
Direktur YPKKI Marius Widjajarta mengatakan, kasus makanan dicampur formalin seperti yang dilakukan pabrik tahu sutra Desa Raga Jaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bukanlah hal yang baru. Kasus ini sudah terjadi sejak 30 tahun yang lalu. Ia menjelaskan, formalin relatif mudah didapatkan, baik dalam bentuk cair maupun tablet.
“Saya sudah teriak-teriak (masalah ini) ke Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Tetapi tidak ada tanggapan,” katanya, Kamis (23/4).
Ini bisa dilihat dengan terulangnya kasus makanan berformalin di Tanah Air. Seharusnya, kata dia, untuk menghilangkan formalin dari peredaran harus dilakukan upaya pengawasan di hulu yaitu produsen makanan olahan maupun obat. Jika industri atau pabrik pangan itu bukan makanan olahan, kata dia, BPOM bisa bekerja sama dengan pihak terkait. Termasuk menggandeng Kementerian Pertanian dan Kementerian Peternakan yang mengawasi pangan non-olahan.
“Jangan hanya berani kepada produsen kecil,” katanya.
Jika upaya itu dilakukan, ia optimistis, formalin berhasil dihilangkan dari peredaran. Ia menyontohkan, Sri Lanka dengan melakukan langkah serupa bisa memberantas formalin sampai akar-akarnya seperti di Sri Lanka. Marius menegaskan, penggunaan makanan berformalin harus ditarik dari peredaran. Ini karena dalam jangka panjang dan terus-menerus adalah kumulatif. Jika dalam tahap awal konsumsi mungkin hanya sedikit mual. Tetapi konsumsi jangka panjang bisa menyebabkan kanker hingga kematian.