REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- 26 mayat tergali di kuburan massal di Thailand selatan yang dicurigai terkait perdagangan manusia, Sabtu (2/5). Kendati demikian, tidak ditemui tanda kematian akibat kekerasan pada sejumlah mayat tersebut.
Puluhan polisi dan relawan penyelamatan pada Sabtu melacak ke kampung hutan di pegunungan provinsi Songkhla itu dan menggali 21 mayat. Sebelumnya, lima mayat dibawa pada Jumat dari kampung itu di perbatasan Thailand dengan Malaysia, sehingga jumlahnya menjadi 26.
"Dari penyelidikan awal forensik di tempat itu, diketahui tidak ada tanda di tulang atau patah, yang menunjukkan kematian akibat kekerasan," kata Kolonel Polisi Triwit Sriprapa, wakil komandan Kepolisian Daerah Songkhla, kepada Reuters, Ahad (3/5).
"Mereka sangat mungkin meninggal akibat penyakit dan kurang gizi," katanya.
Penemuan kuburan massal itu adalah pengingat tajam kekejian perdagangan manusia di Thailand dan muncul saat negara Asia Tenggara itu berupaya meningkatkan catatan dalam memerangi perdagangan tersebut. Pendatang gelap, kebanyakan warga Rohingya dari Myanmar barat dan Bangladesh, sering menentang bahaya melalui laut untuk lari dari penindasan aliran dan suku serta mencari pekerjaan di Malaysia dan Thailand.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menyerukan hukuman terberat bagi yang terlibat dalam perdagangan gelap tersebut. "Siapa pun terlibat dalam perdagangan manusia akan menerima hukuman terberat tidak peduli apa kedudukan mereka," kata Kolonel Sansern Kaewkamnerd, wakil juru bicara pemerintah.