REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Laporan Amnesti Internasional pada Ahad (3/5) menyatakan, pemerintah Mesir menggunakan pengadilan dan penjara untuk mengintimidasi wartawan. Dalam laporannya, ada sebanyak 18 wartawan dari berbagai kewarganegaraan yang saat ini mendekam di balik jeruji besi. Sementara belasan lainnya dituduh melakukan tindakan kriminal.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Luar (Kemlu) Negeri Mesir membantah adanya operasi khusus untuk membidik para awak media. Menurutnya, penangkapan awak media sudah melalui prosedur hukum yang jelas. "Kami tidak membidik awak media, itu cuma omong kosong belaka," kata Juru Bicara Kemlu Mesir, Badr Abdelatty.
Sementara itu, sebuah lembaga hak asasi manusia berbasis di New York juga melaporkan sejumlah reporter ditahan dalam periode waktu yang cukup lama, tanpa tuduhan atau melalui pengadilan. Salah satunya adalah juru foto asal Mesir, Shawkan yang sudah dipenjara selama 600 hari. Kelompok ini menuding pemerintahan Presiden Abdel Fattah al-Sisi membungkam kebebasan berekspresi.
"Sekarang ini di Mesir, siapapun yang menantang dan mengkritik pemerintah serta mengungkap kejahatan tentang hak asasi manusia terancam masuk penjara. Beberapa di antaranya bahkan tak perlu tuduhan atau melalui proses pengadilan," demikian pernyataan Amnesti.
Tiga awak media Al Jazeera juga menjadi korban pemerintah Mesir. Mereka dihukum penjara tujuh hingga 10 tahun dengan tuduhan menyebarkan berita bohong. Sementara, wartawan asal Australia Peter Greste dideportasi pada Februari. Lima wartawan asal surat kabar swasta Al Masry Al Youm ditahan dengan tuduhan korupsi di badan Pasukan Keamanan Mesir.
Lebih lanjut, Amnesti Internasional menyatakan tuduhan terhadap awak media sangat minim bukti dan hanya berdasarkan kesaksian Pasukan Keamanan. Selain itu, sejak pertengahan 2013, sudah enam wartawan yang tewas ketika meliput perlawanan terhadap pemerintah.