REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan kinerja atas pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) pada semester II tahun 2014. Hasilnya, BPK menemukan fakta bahwa kegiatan pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam penempatan dan perlindungan TKI bermasalah.
Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK, R Yudi Ramdan menyebut perlu banyak perbaikan terkait pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam penempatan dan perlindungan TKI skema private to private.
Pertama, undang-undang (UU) yang mengatur seluruh tahapan pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI.
“Kelemahan pengaturan ini mengakibatkan berbagai masalah TKI belum dapat diatasi dengan baik,” ujarnya saat pemaparan hasil pemeriksaan kinerja atas Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah dalam Penempatan dan Perlindungan TKI, di Gedung BPK, Jakarta, Rabu (6/5).
Aturan yang ia maksud adalah turunan peraturan kebijakan yaitu UU 39/2004 mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri. Ia menjelaskan, di UU tersebut sudah mengamanatkan turunan peraturan pemerintah (PP). Pemerintah sudah mengeluarkan lima PP, namun satu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) belum juga selesai yaitu pengawasan.
Padahal, kata dia, RPP ini untuk memastikan kinerja pemangku kepentingan (stakeholder) pengelola TKI, bagaimana perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) atau mitra perekrut bekerja, proses rekrutmen, seleksi, diklat, hingga kompetensinya.
Kedua, terdapat tumpang tindih aturan-aturan mengenai penempatan dan perlindungan TKI yang mengakibatkan kesimpangsiuran dalam proses penempatan dan perlindungan TKI.
Ia menjelaskan, aturan mengenai TKI bukan hanya diselenggarakan pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah (pemda). Jika pemerintah pusat menggunakan payung hukum UU 39/2004, ternyata pemda pun ikut bertanggung jawab terhadap TKI dan sudah diatur di UU 32.
“Kedua UU itu belum sinkron terutama antara tanggung jawab dan kewenangan pemda dan pemerintah pusat. Sehingga, seringkali di lapangan terjadi tumpang tindih antara dinas ketenagakerjaan dan instansi vertikal,” ujarnya.
Ketidakharmonisan wewenang juga terjadi pada BNP2TKI dan Kemenaker. Dualisme antara dua lembaga terjadi misalnya aturan Kemenaker yang menetapkan pendaftaran TKI harus melalui bursa tenaga kerja di Dinas Ketenagakerjaan daerah. Disisi lain, BNP2TKI menyatakan TKI bisa direkrut petugas dengan pola sponsorship.
Dua skema yang berjalan inilah yang dikatakan Yudi telah menyulitkan proses penempatan TKI dan memunculkan calo-calo di daerah.
“Masalah terbesar yang dialami TKI yaitu 80 persen terjadi saat pra penempatan,” katanya.
Ia juga menyayangkan sistem informasi yang tidak terintegrasi antara BNP2TKI dan Kemenaker yang membuat kebijakan pembinaan dan pengawasan menjadi tidak sinkron.
Masalah ketiga adalah penetapan struktur biaya penempatan TKI belum sepenuhnya transparan, valid, rinci, dan sesuai kondisi riil di lapangan.
“Pembebanan biaya penempatan kepada calon TKI dan PPTKIS belum sepenuhnya dilakukan berdasarkan struktur biaya yang telah ditetapkan,” katanya.