Kamis 07 May 2015 23:34 WIB

Soal Sabda Raja, Budayawan: Sebaiknya Ada Semacam Musyawarah

Rep: C32/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X (dua kiri) keluar dari Siti Hinggil Keraton Ngayogyakarta seusai mengeluarkan sabda raja atau perintah raja di Siti Hinggil Keraton Ngayogyakarta, Yogyakarta, Senin (5/5).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X (dua kiri) keluar dari Siti Hinggil Keraton Ngayogyakarta seusai mengeluarkan sabda raja atau perintah raja di Siti Hinggil Keraton Ngayogyakarta, Yogyakarta, Senin (5/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sultan Hamengku Buwono X telah mengeluarkan Sabda Raja yang diantaranya berisi pemberian gelar kepada putri sulungnya sebagai putri sulungnya yaitu Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi dan penghabusan kata Kalifatullah dalam gelar Sultan. Namun adik-adik raja menyayangkan sabda tersebut terutama mengenai penghapusan kata Kalifatullah.

“Iya bisa dikatakan seperti itu jika dalam nilai-nilai Islam sudah tidak dipakai lagi,” kata Budayawan, Iman Budaya Santosa kepada ROL, Kamis (7/5) saat ditanyakan mengenai apakah dalam persoaan pengangkatan Putri HB X menjadi Puteri Mahkota seperti ingin menyiratkan adanya kesetaraan gender di Keraton.

Sesuai dengan sejarah, menurutnya, raja dianggap sebagai wakil tuhan dan jika menggunakan nilai-nilai Islam saat itu mereka menganggap seharusnya yang menjabat itu laki-laki. Oleh karena itu, ada penggunaan kata Kalifullah dalam Gelar Sutan.

Masih menurut Iman, jika dikaitkan dengan penyetaraan gender karena diangkatnya putri raja menjadi putri mahkota, maka harus dilihat kembali apakah tetap menggunakan nilai-nilai Islam Jawa Keraton. “Sebenarnya siapa saja bisa menjadi pemimpin, jangan kaitkan konteks Raja harus laki-laki pada zaman dahulu lalu disamakan pada keadaan zaman sekarang,” kata Iman.

Menurutnya, siapaun orangnya dan perempuan atau laki-laki tergantung dengan cara apa yang dipakai. “Kalau masih menggunakan cara nilai-nilai Islam sebaiknya ada semacam musyawarah terlebih dahulu. Makanya terkait dengan penghilangan kata Khalifatullah menjadi perdebatan diantara keluarga Keraton karena tidak ada musyawarah,” jelasnya.

Ia menambahkan, dalam Islam juga dikenal mengenai musyawarah yang semestinya dapat digunakan untuk mengambil kebijakan. “Seharusnya, bisa musyawarahkan dengan ulama islam atau pakar hukum Islam sebelum mengambil kebijakan,” kata Iman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement