Sabtu 09 May 2015 19:41 WIB

Revisi UU Harus Dilakukan Secara Terbuka

Rep: c36/ Red: Didi Purwadi
Pilkada (ilustrasi)
Foto: IST
Pilkada (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-undang (UU) mesti dilakukan secara terbuka dan melibatkan aspirasi publik. Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, mengatakan masyarakat dan pihak-pihak terkait mesti dilibatkan saat akan merevisi UU. Selain sebagai sosialisasi, keterlibatan masyarakat juga penting untuk berkonsultasi.

“Ada cara pasif dan cara aktif yang bisa dilakukan DPR. Secara pasif, DPR bisa menantikan aspirasi masyarakat umum yang bereaksi terhadap wacana perubahan UU. Secara aktif, DPR membuka konsultasi yang melibatkan beberapa pihak, misalnya akademisi, organisasi masyarakat dan sebagainya,” paparnya kepada Republika.co.id.

Keterlibatan masyarakat secara luas, lanjut Asep, bisa menghindari keputusan sepihak dari DPR. Menurut dia, revisi UU yang sedang diwacanakan saat ini tidak boleh mengulangi proses pengesahan UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang disahkan pada 8 Juli 2014 lalu.

“Jika memang benar-benar harus terlaksana, kami berharap jangan ada kesalahan yang berulang. Publik berhak mengetahui seperti apa revisi UU dan apa tujuannya. Jangan sampai publik menduga-duga ada yang ditutupi dari proses revisi ini,” imbuh Asep.

Hal serupa juga disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, ketika dihubungi secara terpisah. Menurut Margarito, keterbukaan proses revisi UU diperlukan agar masyarakat bisa selalu memantau apa yang menjadi pertimbangan DPR dalam membuat aturan baru.

“Masyarakat memang harus tahu. Sebab, revisi hukum pada dasarnya dibuat untuk mereka. Tidak boleh terjadi lagi seperti UU MD3 yang akhirnya diketahui hanya mengakomodasi kepentingan tertentu saja,” ujar dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement