Senin 11 May 2015 21:03 WIB

Terbukti Suap Akil, Bonaran Situmeang Divonis 4 Tahun

Rep: Mas Alamil Huda/ Red: Bayu Hermawan
Bupati nonaktif Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang mengikuti sidang pembacaan putusan kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (11/5).  (Republika/WIhdan)
Bupati nonaktif Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang mengikuti sidang pembacaan putusan kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (11/5). (Republika/WIhdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus suap sengketa pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah di Mahkamah Konstitusi (MK), Raja Bonaran Situmeang divonis empat tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta. Bupati Tapanuli Tengah nonaktif itu dinilai terbukti menyuap mantan ketua MK Akil Mochtar.

"Menyatakan terdakwa Raja Bonaran Situmeang telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim, Mochammad Muchlis saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor, Senin (11/5).

Selain hukuman penjara, Bonaran Situmeang juga didenda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan penjara. Bonaran dinilai terbukti melanggar dakwaan primer Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pertimbangan memberatkan, majelis hakim menilai, Bonaran tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Perbuatan terdakwa selaku bupati yang berlatar belakang pengacara atau advokat tidak memberikan contoh yang baik kepada masyarakat dalam hal penegakan hukum.

Sementara untuk pertimbangkan meringankan, hakim menilai terdakwa bersikap sopan selama persidangan, bersikap kooperatif dan menghormati jalannya persidangan. Pertimbangan meringankan lain yakni Bonaran merupakan tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Dan juga dinilai telah berjasa memajukan Kabupaten Tapanuli Tengah.

Vonis yang dijatuhkan majelis hakim ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK. JPU dalam tuntutannya meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana enam tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider empat bulan kurungan.

Bahkan, JPU meminta majelis hakim mencabut hak memilih dan dipilih selama delapan tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Namun, tuntutan dari JPU ini tidak dikabulkan majelis hakim. Alasannya, hak memilih dan dipilih merupakan hak yang melekat dalam diri seseorang warga negara.

Atas putusan ini, baik terdakwa maupun penuntut umum menyatakan untuk pikir-pikir sebelum melakukan upaya hukum selanjutnya.

"Saya akan berkonsultasi dulu dengan tim pengacara (untuk banding). Yang pasti putusan ini sangat mengecewakan," kata Bonaran.

Dalam kasus ini, Bonaran terbukti menyuap mantan ketua MK Akil Mochtar terkait sengketa pemilukada Tapanuli Tengah 2011 di lembaga konstitusi tersebut. Bonaran memberi Akil uang sebesar Rp 1,8 miliar untuk 'mengamankan' kemenangan dalam pilkada di Kabupaten Tapteng Provinsi Sumatra Utara.

Suap terhadap Akil dimaksudkan untuk mempengaruhi putusan sengketa pemilukada Tapanuli Tengah yang berperkara di MK. Namun, hingga putusan majelis hakim, Bonaran tetap bersikukuh bahwa hal itu tak pernah dilakukannya dan membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara terpidana Akil Mochtar. Akil diganjar hukuman seumur hidup karena terbukti menerima suap dari berbagai perkara sengketa pilkada di MK. Kabupaten Tapanuli Tengah disebut sebagai salah satu 'lahan permainan' Akil.

Dalam pilkada Tapanuli Tengah, pasangan calon bupati dan wakil bupati Tasrif Tarihoran dan Raja Asi Purba, serta Dina Riana Samosir dan Hikmal Batubara menggugat hasil pilkada. Kedua pasangan tersebut tak terima atas penetapan KPUD yang memenangkan pasangan Raja Bonaran Situmeang dan Sukran Jamilan Tanjung.

Kasus sengketa pilkada Tapanuli Tengah di MK ditangani oleh hakim panel yang diketuai hakim Achmad Sodiki dan beranggotakan Harjono dan Ahmad Fadlil Sumadi. Sementara Akil, turut mengadili dan memutus perkara sengketa pilkada itu karena sebagai ketua MK.

Ketika perkara sedang dalam proses di MK, Akil menghubungi Bakhtiar Ahmad Sibarani agar menyampaikan pesan ke Bonaran untuk menghubungi Akil. Melalui Bakhtiar, Akil meminta uang Rp 3 miliar. Dan jika tak diberi, Akil mengancam akan mengabulkan permohonan pemohon atau dengan kata lain dilakukan pilkada ulang.

Mendapat pesan tersebut, Bonaran menransfer uang sejumlah Rp 1,8 miliar ke rekening CV Ratu Samagat. Perusahaan ini adalah milik istri Akil. Dalam sidang putusan 22 Juni 2011, MK akhirnya menolak seluruh permohonan dua pasangan cabup-cawabup sebagai pihak pemohon dan menetapkan Bonaran sebagai bupati terpilih.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement