REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat menyatakan "sangat prihatin" tentang keputusan pengadilan Mesir pada mantan Presiden Muhammad Mursi. Kritik AS senada dengan kecaman dari Amnesty International dan Presiden Turki Tayyip Erdogan, setelah putusan pengadilan pada hari Sabtu (16/5).
"Kami sangat prihatin dengan hukuman mati massal yang dijatuhkan oleh pengadilan Mesir untuk lebih dari 100 terdakwa, termasuk mantan Presiden Morsi," kata pejabat Departemen Luar Negeri, yang berbicara tanpa menyebut nama.
Ahram Online melaporkab pada Ahad (17/5), putusan terhadap Mursi belum final sampai 2 Juni mendatang. Semua putusan telah dikirim ke otoritas agama tertinggi Mesir, Grand Mufti, untuk pendapat non-mengikat, dan juga tunduk pada banding hukum.
Pejabat tersebut mengatakan telah secara konsisten berbicara menentang praktek peradilan dan vonis massal. Menurutnya cara tersebut tidak sesuai dengan kewajiban internasional Mesir dan aturan hukum.
Mursi dan rekan terdakwa nya dihukum atas tuduhan pembunuhan dan penculikan polisi. Mereka juga dinyatakan bersalah menyerang fasilitas polisi dan melanggar keluar dari penjara selama pemberontakan.
Mursi, yang menjadi presiden pertama Mesir yang dipilih secara bebas pada 2012 setelah penggulingan Presiden Hosni Mubarak, mengatakan pengadilan tidak sah. Ia menggambarkan proses terhadap dirinya sebagai bagian dari kudeta oleh mantan panglima militer Abdel Fattah el-Sisi.
Namun meskipun kekhawatiran anggota parlemen AS tentang demokrasi Mesir, negara itu tetap menjadi salah satu sekutu terdekat Washington. Hubungan AS-Mesir sempat dingin. Tapi setelah penggulingan Mursi hubungan dengan Sisi, terus meningkat.
Pada akhir Maret, Presiden AS Barack Obama mengangkat larangan pada pasokan senjata ke Kairo. Pemerintah kemudian melakukan pengiriman senjata AS senilai lebih dari 1,3 miliar dolar AS.