REPUBLIKA.CO.ID, Sebagai salah satu cabang utama ilmu keislaman, studi dan pengajaran hadits relatif tertinggal dibandingkan dengan studi Al-Quran, pengajaran fiqh, dan studi tentang tauhid dan tasawuf. Bisa dikatakan bahwa studi hadits di Indonesia relatif marjinal, kalau tidak dikatakan sangat langka.
Demikian disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat Wisuda Sarjana ke-13 Darus Sunnah International Institute for Hadits Science di Ciputat-Tangerang Selatan, Sabtu (6/6). Selain Pimpinan Darus Sunnah Ali Musthafa Yaqub, hadir pula Rektor UIN Jakarta Dede Rosada.
“Kondisi ini terjadi baik di pesantren, madrasah, diniyah maupun perguruan tinggi. Dari sekitar 16.000 lembaga, pesantren yang mendalami studi hadits dapat dihitung dengan jari,” kata Menag seperti dilansir kemenag.go.id, Ahad (7/6).
Dikatakan Menag, pada umumnya pembelajaran hadits di pesantren bukan sebagai ilmu, tetapi lebih banyak mempelajari matan atau periwayatan hadits (sanad) sebagai bagian dari bayan (penjelas) dalam kajianAl-Quran atau tafsir. Metode yang digunakan pun sama dengan pengajaran fiqh, yakni sorogan atau bandongan.
“Hanya ada satua dua pesantren yang secara khusus mengajarkan dan mempelajari hadits sebagai ilmu dan salah satu dari pesantren itu adalah darus sunnah,” ucap Menag.
Ditambahkan Menag, kita sebenarnya berharap dari institusi formal Perguruan Tinggi Islam seperti UIN, IAIN, STAIN atau universitas-universitas islam lainnya dalam kajian hadits. Perguruan tinggi Islam ini sebenarnya memiliki resource ahli hadits, program studi tafsir hadits di fakultas/jurusan ushuluddin, perpustakaan yang memadai, dan koleksi kitab-kitan hadits standar, disamping sistem pembelajarannya yang menekankan critical thinking dalam kajian Islam dibandingkan pesantren.
“Namun harapan itu tidak sepenuhnya tercapai, karena kajian hadis di perguruan tinggi Islam tampaknya juga masih belum berkembang secara maksimal,” ujar Menag.
Menurut pandangan Menag, program studi tafir hadits yang ada lebih menekankan kajian tafsirnya dibandingkan hadits, sehingga tetap marjinal. Meskipun sudah dibuka kemungkinan memisahkan stusi hadits tersendiri, belum ada perguruan tinggi Islam yang mengkhususkan diri sebagai lembaga kajian hadits.
“Hal ini jauh tertinggal dengan program studi yang popular, seperti pendidikan agama Islam, ekonomi, syariah, penyiaran Islam, atau justru ilmu-ilmu non-keislaman yang tidak merupakan mandat utama perguruan tinggi Islam seperti matematika, bilogi, fisika, kedokteran dan lainnya,” terang Menag.
Menurut Menag, hal ini sebenarnya ironi, karena hadits merupdakan sumber otoritatif kedua dalam pengajaran Islam setelah Al-Quran. Disamping fungsi hadits sebagai bayan atau penjelas terhadap ayat-ayat Al-quran, seluruh ajaran, nilai, dan sendi-sendi keislama berdasarkan atau bersumber pada sunnah qawliyah, fi’liyah, dan taqririyah baginda Rasulullah SAW.
“Karena itu, memahami hadits secara benar dan tepat adalah kemestian dalam memahami Al-Quran,” tandas Menag.