REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Badan Pengendali Dampak Lingkungan Kota Batam menyatakan sepanjang 2015 sekitar 800 hektare hutan mangrove Batam yang berfungsi melindungi daratan dari abrasi hilang akibat berbagai kegiatan.
"Sebanyak 620 hektare mangrove hilang dikawasan Tembesi, Sagulung setelah kawasan tersebut beralih fungsi dan dibangun waduk. Sisanya rusak karena penimbunan untuk kepentingan wisata, penambangan pasir dan penebangan usaha arang," kata Kepala Badan Pengendali Dampak Lingkungan Kota Batam, Dendi Purnomo, Ahad (14/6).
Untuk kerusakan atau hilangnya mangrove karena alih fungsi sesuai dengan tata ruang seperti yang terjadi di Tembesi, kata dia, Bapedal Batam tidak bisa mengambil tindakan.
Namun, untuk kasus hilangnya mangrove karena kegiatan ilegal seperti penambangan, dapur arang, dan untuk kepentingan komersial lain tetap akan ditindak tegas.
"Dapur arang dilakukan operasi penindakan dan akan dikenakan UU Kehutanan. Karena kegiatan tersebut sudah sangat merusak," kata dia.
Selain itu, kata dia, sejumlah perusakan mangrove di kawasan Galang Baru juga sudah ditetapkan tiga orang tersangka salah satu diantaranya merupakan warga Cina.
"Selain warga Cina, tersangka lainnya adalah pemilik lahan, pemilik alat berat. Kasusnya sudah SPDP dan tinggal nunggu penetapan pengadilan," kata dia.
Untuk pengrusakan akibat tambang di Tanjungkelingking, kata dia, sudah ada penetapan terhadap tersangka Z yang saat ini menjalani wajib lapor dua kali seminggu.
"Pengrusakan untuk wisata di Setokok dengan luas mangrove 15 hektare juga sudah dihentikan. Saat ini kasusnya masih terus didalami oleh petugas. Dari semua kegiatan tersebut, sekitar 800 hektare hutan mangrove yang hilang," kata Dendi.
Dendi mengatakan, pada periode 1970 total luas hutan mangrove di Batam mencapai 24 persen dari keseluruhan luas wilayah. Namun saat ini hanya tinggal tersisa 4,2 persen saja.