REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Boni Hargens menilai Badan Intelijen Negara (BIN) membutuhkan perombakan total. Hal ini diperlukan agar BIN bisa menjawab tantangan global termasuk bersaing dengan agen-agen internasional.
"Butuh perombakan total di tubuh BIN, untuk menjawab tantangan riil, tantangan global dan domestik agar bisa bersaing dengan intelijen dari negara lain," kata Boni saat diskusi bertajuk "Kenapa Sutiyoso Jadi Kepala BIN" di Cikini, Jakarta, Senin (15/6).
Perombakan tersebut, kata Boni, adalah dari penguasaan teknologi, keahlian para agen dan konspetualnya seperti apa, apakah mengabdi kepada negara, pemerintah, atau kepentingan politik tertentu.
"Ini harus juga jadi perhatian dan diperjelas," ujarnya.
Boni memandang perhatian negara belum begitu optimal dalam meningkatkan salah satu alat pertahanan negara ini, termasuk kurangnya penghargaan sehingga berpengaruh pada kinerja BIN.
"Negara tidak begitu serius untuk BIN yang terlihat dari teknologi di BIN yang kurang. Terkadang juga terjadi politisasi terhadap badan intelijen, lalu kurangnya 'reward' terhadap kerja intelijen sehingga berpengaruh terhadap kinerja mereka," ujarnya.
Menurut Boni, saat ini, kekuatan utama intelijen tidak hanya militer, tetapi penguasaan informasi, sehingga ada proteksi dari satelit asing yang bisa mendengar informasi yang akibatnya banyak rahasia ocor.
"Lalu ada peran ekonomi, harus ada prioritas pada BIN sebagai badan yang tangguh dengan cara pelatihan dan pendidikan intelijen," ujarnya.
Boni menambahkan, dalam tubuh BIN juga butuh penguatan ideologi pada para agennya karena banyak oknum intelijen yang justru tidak mengabdi kepada negara tetapi kepada kepentingan lain.
"Harus ada penguatan ideologi, karena netralitas BIN ini harus dijaga," katanya.