REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah kembali ke Jakarta awal Juni lalu, Duta Besar Australia untuk Indonesia, Paul Grigson, merasa optimistis akan hubungan kedua negara. Bisnis dan pendidikan adalah dua sektor yang ia sebut tak goyah walau ketegangan terjadi, dan itu menjadi fokusnya.
Pada tanggal 8 Juni 2015, Duta Besar Paul Grigson kembali ke Indonesia setelah ditarik 5 minggu akibat eksekusi duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Tak lama berselang, hubungan Indonesia dan negara tetangganya ini diguncang oleh rumor penyuapan yang diduga dilakukan pemerintah Australia terhadap para penyelundup manusia.
“Saya tak khawatir akan hubungan Indonesia dan Australia. Skandal penyadapan, ternak, dan sekarang penyelundupan manusia, saya yakin itu semua tak bertahan. Tapi itu bukan berarti saya meremehkan masalah yang ada,” tutur sang Dubes berkacamata ini kepada ABC baru-baru ini.
Ditemui dalam acara buka puasa bersama jurnalis perempuan di kediamannya, Paul mengatakan, “Begini, saya pikir hubungan Indonesia dan Australia akan selalu naik turun, dan bahwa media serta pemerintah terkadang berada di belakang masyarakat. Tapi kita selalu terus maju sekalipun banyak pihak menyebut ini adalah periode terburuk.”
“Kalau saya khawatir mengenai hubungan kedua negara, saya tak akan berbuat apa-apa,” sambungnya.
Mengenai kebijakan Australia untuk menghentikan kapal-kapal yang masuk ke Australia, pria yang menyukai seni lukis ini menjelaskan, “Jika kami menghentikan kapal pencari suaka masuk ke Australia, sebenarnya itu akan menghentikan mereka untuk masuk ke Indonesia.”
Diplomat yang pernah menjadi Duta Besar di Thailand ini lantas mengutarakan, “Pesan saya, kedua negara selalu memiliki perbedaan, penting bagi kita untuk mencoba menyelesaikannya tapi tak seharusnya menghalangi kerjasama positif yang kita lakukan bersama.”
Kerjasama positif yang dimaksud Paul adalah sektor bisnis dan pendidikan. Sejauh ini, ada sekitar 400 perusahaan Australia yang beroperasi di negeri khatulistiwa ini.
Dalam masa jabatannya, sang Duta Besar memiliki keinginan untuk mengundang lebih banyak perusahaan Australia agar berinvestasi di Indonesia.
“Saya ingin lebih, faktanya memang tak banyak perusahaan Australia yang pergi. Kapanpun pemerintah kedua negara mengalami ketidaksepakatan, anda tak melihat perusahaan-perusahaan ini berhenti beroperasi di sini,” ungkapnya.
Ia kemudian menambahkan, “Jangan sampai perbedaan membuat kita lupa akan hubungan antar masyarakat di dua negara, mahasiswa (pendidikan) adalah salah satu contoh terbaik, begitu juga dengan bisnis,”
Sektor lain yang menjadi titik perhatian Paul adalah pendidikan. Ia tak membantah bahwa negaranya masih menjadi tujuan populer bagi mahasiswa Indonesia, dan masyarakat Australia-pun menyambut hangat kedatangan mereka.
“Mahasiswa Indonesia adalah mahasiswa yang baik, mereka tak pernah terlibat masalah atau membuat masalah. Anda tak pernah membaca atau melihat berita di media tentang mahasiswa Indonesia yang membuat onar,” kemukanya.
Jadi, Paul melanjutkan, warga Australia berpikir bahwa mahasiswa Indonesia adalah bagian yang baik dalam kehidupan mereka.
Tapi ia tak menampik sejumlah anggapan miring yang berkembang di antara masyarakat kedua negara.
Menjawab stigma negatif tersebut, ia menyampaikan, “Jika masyarakat Indonesia punya masalah besar dengan Australia, dan sebaliknya, jika Australia begitu membenci Indonesia, lantas mengapa banyak mahasiswa Indonesia terus datang ke Indonesia, pariwisata juga terus tumbuh di antara dua negara?.”
Dubes Paul menyebut, optimisme dan pemikiran positif sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kerjasama baik yang telah dijalin dua negara tetangga ini.
“Kemanapun saya pergi, orang Indonesia selalu ramah, padahal mereka tahu saya adalah Duta Besar Australia,” ujarnya menutup pembicaraan.