REPUBLIKA.CO.ID, SOUSSE -- Perdana Menteri Tunisia Habib Essid menyerukan pertemuan darurat pejabat senior dan mengeluarkan instruksi yang ia pandang sebagai langkah "mendesak dan luar biasa" guna menghadapi serangan besar kedua tahun ini di negeri itu.
Serangan mematikan pada Jumat (26/6) di tempat pelancongan di pinggir laut di Tunisia, Sousse, telah menewaskan 39 orang dan melukai 39 orang lagi, dan dipandang sebagai serangan paling brutal dan paling mematikan dalam sejarah negeri itu. Pada Maret serangan terhadap Museum Bardo di Tunis menewaskan 23 orang.
Essid pada Jumat juga mengatakan perang negeri tersebut melawan teror akan berlanjut. Sementara itu Presiden Beji Caid Essebsi pada hari yang sama di luar Hotel Marhaba, tempat serangan terjadi di Kota Sousse, mengatakan, "Rakyat Tunisi tak cukup bersatu. Kita perlu bersatu-padu."
Menurut tindakan yang diinstruksikan Perdana Menteri, sebanyak 80 masjid yang tak memiliki status hukum telah ditutup, sementara pertemuan partai politik dan kelompok tak resmi akan dikaji, demikian laporan Xinhua, Ahad (28/6).
Kedua pemimpin Tunisia itu juga mengisyaratkan negeri tersebut akan melarang penggunaan bendera hitam Partai Salafi Ettahrir. "Satu-satunya bendera yang mesti dikibarkan adalah bendera merah Tunisia kita. Bendera hitam, yang menjadi milik orang-orang ini (pelaku teror) tak boleh ada," kata Essebsi.
Selain itu, empat daerah gunung di dekat perbatasan Aljazair akan dikategorikan sebagai daerah militer tertutup. Gunung itu antara lain adalah Gunung Samema dan Gunung Ouergha, tempat beberapa operasi keamanan dan pembersihan dilancarkan untuk mencari tersangka pelaku teror.
"Dengan penutupan daerah ini, perburuan pelaku teror dan penangkapan mereka akan jadi lebih mudah buat pasukan keamanan kita," kata Perdana Menteri Essid.