REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah mengkaji kebutuhan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) tentang mineral dan batubara. Hal ini untuk mengurai permasalahan pertambangan yang selama ini terkendala oleh UU nomor 4 tahun 2009 yang tidak dijalankan oleh semua operator pertambangan. Dua masalah utama yang kemudian muncul adalah seretnya hilirisasi serta pembangunan smelter yang juga tak kunjung rampung.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot menyebutkan, pihaknya akan menunggu kajian atas wacana penerbitan Perppu ini. Bambang menyebut, Perppu menjadi satu opsi di antara beberapa opsi yang ada untuk mengurai masalah ini.
"Kita lihat nanti ya, masih dibahas. Kita sekarang identifikasi permasalahan hukumnya seperti apa," ujar Bambang, Selasa (7/7).
Bambang melanjutkan, selain penerbitan Perppu, pemerintah juga sedang menggodok beberapa opsi lainnya, termasuk memasukkan UU Minerba ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional).
"Nanti kita bahas di sini, apakah jadi bahan kita. Kan ada prolegnas UU, dan ada usulan perpu, nanti yang mana yang paling pas," katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, sesuai dengan UU Minerba, PT Freeport yang masa kontraknya habis pada 2021 baru bisa mengajukan perpanjangan izin usaha pada 2019 nanti atau 2 tahun sebelum kontrak habis. Namun, Freeport mendesak agar pemerintah membahas perpanjangan izin usaha pertambangan saat ini.
Freeport berdalih, Freeport butuh kepastian usaha atas berinvestasi sebesar 18 miliar dolar AS untuk pembangunan smelter dan penambangan bawah tanah.
"Tadi kita juga bahas soal itu. Tidak hanya itu, dan tidak hanya menyelesaikan permasalahan freeport tapi untuk permasalahan momen," lanjut Bambang.