REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pengamat politik dari CSIS Dr Philips Vermonte mengemukakan perbaikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia mensyaratkan jumlah partai politik idealnya tidak lebih dari enam parpol.
Hal tersebut dikatakan Philips Vermonte menjawab pertanyaan dalam kuliah umum yang disampaikannya di Universitas Melbourne hari Selasa (14/7) malam. Seorang peserta menanyakan apakah jumlah partai yang ikut dalam pemilu legislatif di tahun 2014 tidak terlalu banyak.
Atas undangan Asia Institute di Universitas Melbourne, Vermonte yang juga Kajian Politik dan Hubungan Internasional lembaga pemikir CSIS, membawakan kuliah umum berjudul: The State of Democracy in Indonesia: What Lies Ahead? (Keadaan Demokrasi di Indonesia: Apa Masalah ke depannya?).
Dalam paparannya, Vermonte menjelaskan kehidupan demokrasi di Indonesia utamanya mengenai beberapa pemilihan umum baik pileg maupun pilpres sejak jatuhnya Presiden Soeharto di tahun 1998.
Menurut Vermonte, sampai dengan Pemilu 2014, Indonesia sudah melewati berbagai tantangan yang ada, dan berada dalam suasana demokrasi yang cukup baik.
"Indonesia sudah berhasil melaksanakan pemilu dengan baik, meskipun banyak tantangan dari sisi penyelenggaraan. Media massa juga merupakan salah satu yang paling bebas di dunia. Ekonomi pun tumbuh baik," kata Vermonte.
Menjelaskan mengenai mengapa pemilu berlangsung dengan baik, Vermonte menyebutkan adanya tiga faktor.
"Adanya kelanjutan dari sistem pemilihan yang sudah diketahui dari masa sebelumnya. Dari sisi platform partai, kebanyakan juga mengarah ke arah moderat," jelasnya.
"Dulu di tahun 1999, partai-partai berlatar belakang Islam membawa misi, misalnya ingin berbicara mengenai negara Islam, namun karena tidak mendapat banyak suara, sekarang misi itu tidak banyak lagi dibicarakan," kata Vermonter.
"Dan yang ketiga adalah para pemilih sudah belajar bagaimana harus memilih partai atau calon mereka," tambahnya di depan sekitar 80 peserta kuliah umum tersebut.
Mengenai tantangan di masa depan, menurut Dr Vermonte, perlunya reformasi internal di kalangan partai-partai politik, perlunya subsidi lebih besar dari anggaran pemerintah bagi keuangan partai politik sehingga akan kurang kemungkinan mereka melakukan korupsi, dan pendidikan politik bagi para calon pemilih.
Berkenaan dengan reformasi internal di kalangan partai politik, CSIS di bulan Februari lalu baru saja melakukan survei dengan berbicara langsung dengan ketua-ketua partai di daerah.
Dalam temuannya, CSIS mengatakan bahwa misalnya dari segi usia, kebanyakan para ketua partai politik di daerah ini masih berusia di bawah 50 tahun dan ini sangat kontras dengan para ketua partai di tingkat nasional yang sekarang sudah berusia di atas 60 tahun.
Dari sisi jenis kelamin, lebih dari 90 persen ketua partai ini adalah pria dan kebanyakan adalah pengusaha.
Untuk prasarana bagi kegiatan partai, lebih dari 50 persen menggunakan rumah sendiri sebagai kantor partai, dan biasanya adalah rumah dari sang ketua partai.
Menurut Vermonte, saat ini subsidi dari pemerintah untuk partai politik adalah Rp 100 per pemilih, dan dalam pandangannya, hal tersebut harus ditingkatkan, karena kebutuhan bagi partai-partai tersebut untuk menjalankan roda kepartaian lebih dari itu.
Ketika menjawab pertanyaan wartawan ABC L. Sastra Wijaya mengenai apakah peningkatan pendanaan partai sudah pasti akan mengurangi korupsi dan akan bisa diterima oleh masyarakat banyak, Philips Vermonte mengatakan walau hal tersebut mungkin ditentang oleh banyak pihak, terutama masyarakat, hal tersebut diyakininya adakah alternatif yang baik.
"Saya sebenarnya mendukung soal dana aspirasi bagi anggota DPR. Memang masih harus ada penjabaran lebih detil sehingga bisa mengurangi penyalahgunaan," katanya.