REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan intoleransi yang terjadi di Karabuga, Tolikara, Papua pada 17 Juli 2015 merupakan puncak gunung es yang harus diselesaikan secepatnya.
"Tak cukup melakukan pendekatan melalui para tokoh agama, tetapi juga harus melibatkan sampai ke akar rumput dari warga daerah bersangkutan," kata Ketua Asosiasi Bina Haji dan Umrah Nahdlatul Ulama (PP Asbihu NU) KH. Hafidz Taftazani di Jakarta, Jumat (24/7).
Oleh karena itu, Hafidz yang juga Ketua Masyarakat Pesantren itu menilai regulasi yang berlaku secara nasional sudah sangat penting untuk dibuat.
Dalam konteks ini, ia mendorong pemerintah untuk secepatnya mematangkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU-PUB) mengingat persoalan keumatan makin kompleks terkait persoalan Tolikara, Papua.
RUU PUB pada awal kabinet kerja ramai didiskusikan, tapi belakangan senyap. Ia menilai RUU PUB memang perlu dimatangkan, termasuk di dalamnya mengatur soal penistaan agama.
Karena itu, dalam hal ini Kementerian Agama, wajib mengangkat soal ini terkait kasus intoleransi yang terjadi di Karabuga, Tolikara, Papua.
Perlindungan umat beragama dan pencegahan penistaan agama sangat penting. Regulasi itu tentu akan melibatkan empat kementerian yakni Kemenag, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Polhukam.
"Jika RUU PUB dijadikan UU, maka aturan bersifat khusus yang dikeluarkan pemerintah daerah yang nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi harus dihapus. Harus ada ketegasan dari seluruh pemangku kepentingan," kata Hafidz menerangkan.