Ahad 26 Jul 2015 13:54 WIB

Indef: Kebijakan OJK Perlu Koordinasi dengan Stakeholder

Rep: Binti Sholikah/ Red: Satya Festiani
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad berbicara saat silaturahmi dengan media dikantor OJK, Jakarta, Jumat (24/7).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad berbicara saat silaturahmi dengan media dikantor OJK, Jakarta, Jumat (24/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan 35 kebijakan yang bertujuan menciptakan stimulus bagi pertumbuhan perekonomian nasional. Hal itu dilakukan dengan menerbitkan dan menyesuaikan sejumlah peraturan di bidang perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank (IKNB).

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Hery Firdaus mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan OJK cukup baik untuk membantu stimulus perekonomian. Dengan mengeluarkan 35 kebijakan, OJK terlihat seperti membuat gebrakan.

 

Dia menyambut baik karena mayoritas kebijakan untuk melonggarkan kredit bagi industri keuangan. "Tapi yang harus diperhatikan koordinasi dengan instansi terkait, apakah kebijakan-kebijakan ini yang dibutuhkan dunia usaha dan masyarakat," jelasnya kepada Republika, Jumat (24/7).

Menurutnya, jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan OJK tidak sesuai dengan yang dibutuhkan industri keuangan maupun dunia usaha. Dia mencontohkan, kebijakan di sektor perbankan terkait bobot risiko untuk Kredit Kendaraan Bermotor ditetapkan sebesar 75 persen dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit apakah sudah dikoordinasikan dengan instansi terkait, misalnya dengan dunia usaha dan kementerian terkait. "Kebijakan akan efektif kalau ada dukungan semua stakeholder. Akan sulit efektif kalau tidak koordinasi," imbuhnya.

Dia menambahkan, kondisi ekonomi Indonesia saat ini sedang terpuruk. Pertumbuhan ekonomi melambat, di kuartal II diprediksi tidak akan meningkat signifikan, meskipun ada peningkatan konsumsi di bulan puasa dan Lebaran. Pertumbuhan ekonomi diprediksi tidak setinggi harapan pemerintah dan stakeholder. Sebab, daya beli masyarakat terhadap kebutuhan menurun. Kemudian dari sisi dunia usaha pertumbuhan juga melambat, ekspor jauh turun. Sehingga kondisi tersebut harus distimulus, diberikan insentif agar bangkit lagi. Diharapkan daya beli masyarakat bisa tumbuh lagi.

Menurutnya, yang dibutuhkan dunia usaha semacam darah segar agar dalam jangka pendek bisa bangkit. Untuk bisa bertahan, industri butuh insentif. Dengan insentif dari OJK, lanjutnya, diperlukan koordinasi untuk menggairahkan dunia usaha dan memacu kembali daya beli masyarakat.

Di samping itu, kebijakan tersebut juga diharapkan mendorong penyaluran kredit perbankan. Target pertumbuhan kredit telah direvisi menjadi 13-15 persen dari target awal di kisaran 15-17 persen sampai akhir tahun 2015. "Kalau kebijakan ini efektif bisa di atas 13 persen," ujarnya.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement