REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Kontroversi sistem ahlul halli wal aqdi (Ahwa) dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 di Jombang, Jawa Timur pada 1-5 Agustus mendatang dinilai hanyalah alat untuk mempertahankan status quo pengurus PBNU.
“Jelas sekali pemaksaan Ahwa dari pihak tertentu untuk mempertahankan pengurus sekarang. Dan itu sungguh merupakan cara yang tidak bijak karena mengandung ambisi orang per orang,” kata Wakil Ketua PWNU Maluku Karnusa Serang, Rabu (29/7).
Saat ini, posisi Rois Am PBNU dijabat oleh KH Musthofa Bisri dan KetuaUmum KH Said Aqil Siroj yang mencalonkan kembali dalam Mukatamar ke-33 NU.
Pemaksaan untuk mengisi formulir Ahwa pendaftaran kepesertaan muktamar, dinilai Karnusa juga bagian dari teror demokrasi.
“Itu jelas tidak sesuai dengan demokrasi Islam. Ahwa itu jelas mengebiri peran muktamirin dalam menggunakan hak dan menyampaikan aspirasi,” ungkapnya.
Apalagi secara faktual, menurut Karnusa, pemberlakuaan Ahwa cacat hukum karena tidak sesuai AD/ART dan jelas-jelas telah ditolak sebagian besar pengurus wilayah dan cabang NU se-Indonesia.
“Daripada meributkan dan memaksa Ahwa, lebih baik PBNU memikirkan perbaikan umat dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial agar umat bisa maju,” harapnya.