Selasa 04 Aug 2015 21:07 WIB
Muktamar NU

Didekati Kelompok Syiah, NU akan Habis Tahun 2050

nota kesepahaman (MoU) dengan Universitas al-Musthafa al-’Alamiyah, Qom, Iran.
Foto: dok pri
nota kesepahaman (MoU) dengan Universitas al-Musthafa al-’Alamiyah, Qom, Iran.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Cholil Nafis, Ph.D mengungkapkan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) menjadi pasar utama bagi paham seperti Syiah, Wahabi, Hizbut Tahrir (HT), dan Islam Liberal (Islib).

Artinya, NU menjadi rebutan atau lahan yang dijadikan sasaran dakwah mereka. ”Karena NU paling besar, maka Syiah, Wahabi, HTI, dan Islam Liberal itu berusaha mendekati NU,” kata Cholil, dalam rilisnya, Selasa (4/8).

Strategi mereka, kata Cholil, berbeda-beda. Syiah, misalnya, memakai strategi seolah-olah ajaran Syiah dan NU itu dekat, tak ada perbedaan.

”Padahal secara ushul (akidah/teologi) Syiah dan NU jelas berbeda,” katanya.

Sedang Wahabi, tegas dia, mempengaruhi warga NU justru dengan cara menyalahkan ajaran NU. Begitu juga HTI dan sebagainya.

Sehingga, Ketua MUI Bidang Dakwah  ini menilai, beberapa pimpinan NU, baik di PBNU maupun di daerah banyak yang tertarik dengan ajaran Syiah, Wahabi, dan HTI.

”Saya lihat di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Jawa Timur sudah ada semua,” katanya.

Menurut dia, kalau ketertarikan pengurus NU kepada Syiah, Wahabi, HTI, dan Islam Liberal ini terus terjadi, maka tak mustahil NU nanti akan habis. Apalagi Syiah, Wahabi, dan lainnya memang punya target untuk menghabisi ajaran NU.

”Mereka menargetkan, tahun 2050 NU akan habis,” katanya.

Bahkan, ia menuturkan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj membuat nota kesepahaman (MoU) dengan Universitas al-Musthafa al-’Alamiyah, Qom, Iran.

Qom menjadi sebuah kota suci bagi penganut Islam Syiah. Kota ini merupakan pusat pendidikan Syi'ah terbesar di dunia.

Menurut Cholil, dokumen kerjasama di bidang pendidikan, riset dan kebudayaan itu dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan Rais Am Syuriah PBNU yang saat itu dijabat KH A Sahal Mahfudz. Dokumen tertanggal 27 Oktober 2011 itu dibuat dalam dua bahasa, Persia dan Indonesia.

”Saya kopi yang berbahasa Indonesia karena saya gak begitu paham bahasa Persia. Di PBNU ada, di Universitas al-Mustafa juga ada,” tegas dosen Universitas Indonesia (UI) itu ketika ditanya dapat darimana dokumen tersebut.

Ia mengaku pernah sekali berkunjung ke Universitas al-Mustafa al-‘Alamiyah. ”Saya kesana mewakili UI dalam urusan akademik,” katanya.

Menurut dia, kerjasama itu berlaku selama empat tahun. "Kalau tak ada pembatalan, kerjasama itu akan terus dan diperpanjang dengan sendirinya," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement