REPUBLIKA.CO.ID,JOMBANG -- Usai perhelatan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33, pengurus baru ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut diharapkan memperbaiki beberapa hal.
"Kalau NU, sebetulnya problemnya struktural, organisasi. Yang jadi soal memang bagaimana menjadikan NU berfungsi sebagai lembaga dan sistem yang efektif, sehingga ketika disalahgunakan, baik oleh pihak luar atau dalam, jelas patokan koreksinya. Ketika penyalahgunaan minimal, kinerja juga baik dalam memberi pelayanan," nilai sosiolog agama dari Universitas Gadjah Mada Achmad Munjid, Kamis (6/8).
Doktor lukisan Temple University, Amerika Serikat ini berharap, kepengurusan baru PBNU mengimplementasikan program yang lebih konkret terkait problem mendasar di tengah masyarakat.
"Harapan untuk PBNU ke depan kebijakannya lebih ke pengembangan yang bersifat praktis. Misal, dalam bidang kesenian bisa memberi dana dan infrastruktur untuk penelitian, pelatihan dan pengembangan kader NU,” imbuh kurator seni rupa dan kepala program Pondok Pesantren Kebudayaan Kaliopak, Yogyakarta Anzib.
Sementara para aktivis dari kalangan NU mengusulkan agar PBNU ke depan lebih aktif dalam program pemberdayaan sosial serta lebih akomodatif terhadap kader mudanya.
Seperti yang dikemukakan oleh MH Nurul Huda dari Tankinaya Institute terkait banyaknya eksploitasi yang merugikan masyarakat terutama warga NU.
"Saatnya NU lebih memosisikan kembali sebagai kekuatan yang kritis terhadap kekuatan dominan yang mengeksploitasi umatnya dengan mentransformasi ide-ide keadilan sosial dan mengadvokasi problem-problem masyarakat dalam bidang ini. Eksploitasi ekologi, buruh, budaya telah begitu parah di republik ini," ujar lulusan sosiologi UI dan peneliti senior Desantara Jakarta ini.