REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asumsi pemerintah yang mematok dolar AS berada di kisaran Rp 13.400 tahun depan harus disertai kebijakan yang tepat. Apalagi jika pemerintah sengaja membiarkan rupiah berada di level tertinggi tersebut.
"Kalau disengaja, mau atau tidak mau di level itu tidak terlalu penting, yang penting respon kebijakan yang memanfaatkan momentum depresiasi rupiah untuk memperbaiki struktur ekonomi," ucap pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati kepada ROL, Sabtu (15/8).
Langkah ini telah dilakukan terlebih dulu oleh Cina yang mendevaluasi mata uangnya Yuan beberapa waktu yang lalu. Dalam sehari, yuan terdepresiasi hingga dua persen.
Pemerintah harus segera melakukan industrialisasi substitusi impor atau hilirisasi industri. Caranya dengan promosi ekspor ketika rupiah sedang berada dalam level cukup rendah.
"Kalau rupiah dibiarkan sengaja melemah, pemerintah harus punya kecepatan respon kebijakannya," kata Enny.
Saat ini tiga menteri koordinator di mendapat sorotan karena mengalami perombakan kabinet beberapa waktu lalu. Enny mengatakan kompetensi dan jam terbang ketiga Menko tersebut memang sudah tidak diragukan lagi, baik dari segi ekonomi maupun pertahanan keamanan.
"Yang penting bukan hanya pengalaman, tapi juga leadership yang mampu mengorganisir kementerian di bawahnya," ucap Enny.
Kementerian di lingkungan masing-masing harus dapat menyusun strategi tidak biasa. "Ini yang ditunggu oleh pasar. Apa langkah, alternatif, dan juga strategi mereka," ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Enny mengatakan pasar juga menanti kinerja Menteri Perdagangan Thomas Lembong. Pengalaman Thomas banyak di bidang keuangan.
Dulunya, Thomas merupakan relawan pro-Jokowi dan staf ahli Jokowi. "Tentu Pak Jokowi yang mengerti betul bagaimana kapasitasnya. Publik hanya bisa menunggu," ucapnya.