REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Ribuan orang bertandang ke pusat Kota Beirut, Sabtu (29/8), malam untuk memprotes korupsi dan tata kelola disfungsional pemerintah Lebanon. Para demonstran berkumpul di Lapangan Martyrs dan meneriakkan slogan-slogan yang menentang politisi yang dianggap korup.
"Ketika pemerintah Anda hampir tidak dapat menyediakan listrik atau air, inilah yang harus Anda lakukan," kata Ahmed Karrga (35 tahun), demonstran yang bekerja sebagai karyawan di sebuah kafe makanan cepat saji, seperti dilansir Washingtonpost.com.
Demonstrasi dimulai sebagai protes atas krisis sampah dan telah berubah menjadi gerakan yang lebih luas, seperti menuntut reformasi dan pemilihan parlemen. Beberapa, menyerukan revolusi, meragukan pemerintahan dari negara yang sudah berjuang untuk mengatasi dampak dari perang saudara di Suriah itu.
Pemicu awal demonstrasi adalah menumpuknya sampah di jalan-jalan Kota Beirut bulan lalu karena penutupan tiba-tiba TPA dekat ibu kota. Karena perselisihan antara politisi, pemerintah belum mampu menemukan solusi untuk krisis sampah.
Ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang memadai, seperti listrik, juga membangun frustrasi masyarakat selama bertahun-tahun di Lebanon. Akhir pekan lalu, demonstrasi berujung pada bentrokan yang melibatkan pasukan keamanan, yang menggunakan kanon air dan peluru karet untuk mengusir para pemuda yang melakukan pelemparan batu.
Dalam laporan yang dirilis pada Sabtu (29/8), kelompok hak asasi yang berbasis di London Amnesty International menyerukan kepada pemerintah Lebanon untuk menyelidiki dugaan kekerasan berlebihan yang dilakukan oleh aparat keamanan selama protes.
Menteri Dalam Negeri, Nohad Machnouk, telah berjanji untuk menyelidiki dugaan penyalahgunaan itu. Palang Merah Lebanon mengatakan, akibat protes pada 22 dan 23 Agustus, sebanyak 59 orang mengalami luka-luka dan harus dirawat di rumah sakit.
Lebanon telah berjalan tanpa kepemimpinan seorang presiden selama satu tahun, sebagian karena perselisihan partai politik yang terbagi atas perang sipil Suriah. Tahun lalu, parlemen memperpanjang mandatnya sendiri sampai 2017, karena ketidakmampuan untuk menyelesaikan sengketa merumuskan UU Pemilu yang baru.