REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai permohonan libur untuk merayakan Idul Adha yang diajukan pihaknya ke pemerintah wajar. Ini karena warga memiliki hajat penting untuk menunaikan ibadah yang merupakan bagian dari keyakinan beragama.
"Wajar saja jika memohon privilege sesuai keadaan. Kalau misalnya ada orang punya hajat urusan penting masa tidak diberikan izin? Saya kira itu wajar saja," ujar Mu'ti ketika dihubungi ROL, Kamis (3/9).
Mu'ti menekankan tidak hanya warga Muhammadiyah yang kemungkinan merayakan Idul Adha berbeda dengan pemerintah. Sejumlah ormas lain, kata Mu'ti, juga memiliki kemungkinan yang sama. "Jadi ini bukan kepentingan Muhammadiyah tapi kepentingan umat Islam sebagai bagian warga negara dan rakyat Indonesia," ujar Mu'ti.
Kalau pemerintah tidak meliburkan, Mu'ti menyerahkan pada keputusan pribadi masing-masing. Ia menerangkan, setiap orang berhak mengambil keputusan mengenai dirinya. "Kalau masyarakat yang merayakan Idul Adha berbeda dengan pemerintah tidak diberikan izin libur dan memilih tetap bekerja maka itu kebebasannya," ujarnya.
Mu'ti mengatakan, dalam beragama tidak ada paksaan. Terlebih, ujarnya, shalat Idul Adha hukumnya sunah meski sangat dianjurkan. Ia menilai hal ini tidak perlu dibesar-besarkan.
Meski begitu, Mu'ti berharap pemerintah serta instansi swasta tidak perlu berlebihan dalam menyikapi izin pegawai yang ingin menunaikan shalat Idul Adha. Ia menekankan, izin dan cuti adalah hak setiap pegawai. "Jadi kalau ada yang cuti jangan dipolitisir," ujarnya.