Selasa 08 Sep 2015 06:09 WIB

Infrastruktur Keuangan Lemah, Volatilitas Pasar Saham Tinggi

Rep: Risa Herdahita Putri/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Direktur Utama Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin memberikan paparannya dalam ramah tamah dengan para pemimpin redaksi di Plaza Mandiri, Jakarta, Rabu (11/2).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Direktur Utama Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin memberikan paparannya dalam ramah tamah dengan para pemimpin redaksi di Plaza Mandiri, Jakarta, Rabu (11/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak dengan volatilitas yang tinggi pada beberapa pekan belakangan ini. Menurut Direktur Utama PT. Bank Mandiri Tbk (BMRI), Budi Gunadi Sadikin, hal ini dikarenakan pembangunan infrastruktur keuangan di Indonesia masih kurang.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 31 Agustus 2015 hingga 4 September lalu, IHSG bergerak fluktuatif. IHSG sempat mengalami kenaikan 1,43 persen ke level 4.509,607 di awal pekan lalu. Namun, di akhir pekan IHSG kembali melemah dibanding penutupan pekan sebelumnya, yaitu sejauh 0,69 persen pada level 4.415,34.

Sementara nilai transaksi harian juga melemah, yaitu sebesar 30,5 persen dari Rp 6,52triliun menjadi Rp 4,53 triliun. Untuk rata-rata volume dan frekuensinya juga tidak menampilkan data yang baik karena menurun masing-masing sebesar 30,7 persen dan 34,2 persen.

"Transaksi pasar efek kita sekitar 2miliar dolar AS per hari. Padahal GDP Indonesia nomer 16, tapi volume perdagangannya hanya segitu. Padahal Malaysia 10miliar dolar AS, Thailand 20miliar dolar AS, Singapura malah lebih dari 200m dolar AS," kata Budi awal pekan ini.

Menurutnya, lemahnya sistem keuangan di negara ini membuat pasar modal, termasuk pasar uang bergerak tak stabil. Melihat angka perbandingan di atas, akan sangat mudah bagi investor untuk keluar dari pasar modal Indonesia. Kerentanan ini yang akhirnya menekan pasar efek lebih dalam.

"Karena itu volatilitas sangat besar. Infrastruktur keuangan tidak cukup dalam dan tidak cukup kuat meng-cover besaran bisnis yang ada. Ini terjadi di pasar obligasi dan efek," jelas Budi.

Hal itu ditunjukkan juga oleh data BEI, yaitu dari segi jual, selama periode 31 Agustus hingga 4 September ini investor asing mencatatkan jual bersih senilai Rp 831miliar. Sementara sepanjang tahun ini, investor asing mencatatkan net sell senilai Rp 7,9triliun.

Sementara, berdasarkan risetnya yang diluncurkan hari ini, Mandiri Institute bersama Oliber Wyman memperlihatkan, pasar finansial Indonesia memang masih dangkal. Itu jika dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.

Hal itu terlihat dari jumlah emiten saham di BEI yang mencapai 540 perusahaan. Padahal di Thailand ada sebanyak 1.400 perusahaan yang tergabung dalam bursa saham mereka, sedangkan di Malaysia ada 2.360 perusahan.

Untuk jumlah emiten obligasi, pada pasar modal domestik ada sebanyak 140 perusahan. Jumlah itu lebih sedikit dibanding di Thailand yang berjumlah 304 emiten dan 1.008 di Malaysia.

Di tingkat partisipasi investor ritel di pasar keuangan Indonesia juga masih 0,2 persen dari total populasi atau sekitar 450ribu investor. Padahal partisipasi investor ritel di India sudah mencapai 2 persen dari total populasinya.

Ini lah yang membuat tingkat kontribusi pasar saham Indonesia ke PDB baru mencapai kisaran 49 persen. Sementara di Thailand mencapai 111 persen, Malaysia 141 persen, dan India 149 persen.

"Memang saat ini ada langkah short term, seperti buyback saham tanpa RUPS, tapi kan long term harus dicari juga. Diharapkan dengan launching report ini bisa jadi salah satu masukan untuk mencari solusi long term, yaitu dengan membangun infrastruktur keuangan," papar Direktur Treasury PT. Bank Mandiri Tbk (BMRI), Pahala N. Mansury.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement